
35 orang mendirikan tenda di Ue Maramu, Desa Pantanolemba, Kecamatan Poso Pesisir Selatan Kamis 24 April 2025 sore. Kebanyakan orang mengenal tempat di ketinggian 230 mdpl ini, permandian air panas Pantangolemba. Terletak di kaki gugusan pegunungan Tokorondo, tempat ini berjarak sekitar 4 kilometer disebelah barat pemukiman penduduk.
Mereka adalah para penjelajah yang dipilih melalui proses seleksi berdasarkan keahlian dan minat masing-masing. Ada geolog, fotografer, ahli ikan, konten kreator, pelukis, tukang sablon, videografer, penulis, pendongeng dan jurnalis serta musisi. Kedatangan mereka untuk menjelajahi sumber mata air panas yang menjadi salah satu titik warisan geologi Kabupaten Poso di wilayah Pesisir laut Kabupaten Poso.
Setelah tenda terbangun, sekitar pukul 17:30 mereka mulai mempersiapkan berbagai acara di bangunan sederhana sekitar 30 meter dari kolam pemandian air panas.
Malam itu orang-orang tua dari Desa Pantangolemba akan datang untuk berbagi cerita mengenai sejarah desa, termasuk tentang air panasnya.
Cerita tentang air panas versi warga lalu berulir. Cristian Menono, warga setempat menceritakan tentang sebuah batu berukuran 2 meter di dasar kolam pemandian. Dahulu, menurut dia, ketika kolam itu dibuat, pemerintah menggunakan alat berat untuk menggalinya. Namun sebuah batu besar tidak bisa diungkit alat berkapasitas puluhan ton itu.
Saat menuju ke kolam, terlihat diantara lantai marmer, bongkahan batu besar berwarna kelabu menyembul dari dalam.
Agustin Pakinde, warga desa lainnya menceritakan banyak orang yang menderita penyakit, mulai dari penyakit kulit hingga stroke akhirnya sembuh setelah berendam rutin di kolam.
Cerita tentang batu tak bergeming, manfaat Kesehatan hingga studi geologi menjadi salah satu daya tarik kolam air panas Pantangolemba bagi yang ingin mendapatkan manfaat Kesehatan, penelitian atau sekedar healing.
Badan Geologi Kementerian ESDM memasukkan mata air panas Pantangolemba menjadi 1 dari 24 situs geologi di Kabupaten Poso untuk diajukan sebagai salah satu bagian dari situs Taman Bumi(Geopark). Posisinya diujung paling utara daripada 24 situs geologi lainnya menjadi alasan mengapa perjalanan menjelajahi situs Geopark dimulai dari sini.
Cristian Menono menceritakan, sebelum dikenal seperti sekarang, tempat ini oleh orang-orang tua dikenal sebagai ‘Tampa Tau Maila’ atau tempatnya orang-orang liar.
“Tapi itu dulu memang begitu cerita orang-orang tua. Dari sini, mereka (orang liar) itu pindah ke wilayah Manggalapi”cerita Cristian Menono. Selain Tau Maila, 28 tahun lalu, warga sekitar masih sering menemukan teluk Maleo disini. Namun pembukaan lahan hutan menjadi kebun akhirnya membuat burun denan telur besar itu tidak pernah terlihat lai sampai hari ini.

Pagi hari, penjelajahan dimulai. Pukul 07:00 wita, para penjelajah menyusuri hutan yang basah oleh hujan malam sebelumnya. Menuju kearah timur, mereka menyusuri jejak air panas yang mengalir di kanal kecil beruap dengan bau belerang yang terasa hangat dihidung.
Disumber mata air panas yang mengepulkan aroma belerang, Riska Puspita, Petrologi dan Geology dari Universitas Tadulako menjelaskan bagaimana proses munculnya air panas dari dalam perut bumi hingga tertampung di kolam itu setelah melalui proses hidrotermal.
Dia mengatakan, meski air panas muncul dari dalam perut bumi, namun belum bisa dikatakan bahwa dilokasi itu ada gunung api. Sebab tidak ada sejarah itu disana.
Kita memang masih memerlukan penelitian terus menerus untuk menyingkap bagaimana fenomena bumi yang unik itu ada di Pantangolemba.
Penelitian geologi sudah dimulai, penelitian dari disiplin ilmu lainnya masih diperlukan, terutama untuk memberikan pengetahuan yang lebih lengkap bagi masyarakat sekitarnya.
Cristian Menono misalnya, hingga kini bertanya tentang jumlah kandungan belerang dari air panas Pantangolemba.
Sebagai daya tarik wisata. Situs ini belum maksimal memberi kontribusi kepada warga sekitarnya. Salah satu sebabnya, kewenangan pengelolaannya masih dibawah Dinas Pariwisata Kabupaten Poso.
Beberapa kali pemerintah desa berupaya mengajukan permintaan untuk mengelola Kawasan itu agar berada di bawah kewenangannya. Namun persyaratan yang mengatur pengalihan kewenangan itu ternyata cukup rumit. Namun masyarakat Pantangolemba masih berupaya.
Kepala Desa Pantangolemba, Y.Panyopu mengatakan, saat ini pihaknya sedang mengajukan skema perhutanan sosial seluas 800 hektar. Jika ini terkabul, Kawasan mata air panas akan masuk di dalamnya. Dia berharap, lewat skema ini, pengelolaan air panas akan menjadi kewenangan desa.
Air terjun Pantangolemba menjadi tujuan berikutnya. Kali ini perjalanan diluar perkiraan semua peserta. Bahkan 4 orang pemandu mungkin juga tidak menyangka medan yang akan dilalui begitu menguji tekad.
Dibutuhkan lebih dari 1 jam perjalanan, memanjat dan menuruni tebing terjal, licin, bebatuan yang tidak solid untuk pijakan. Tanpa alat bantu standart seperti tali, apalagi obat-obatan. Beberapa orang, mungkin tidak menyangka kondisi medannya seperti ini bahkan hanya menggunakan sandal. Sebagian menggunakan sepatu yang dirancang untuk berjalan diatas aspal.
Lebih dari 70 persen perjalanan dari sumber mata air panas menuju ke air terjun ini membutuhkan bukan hanya dua kaki, tetapi juga kedua tangan untuk memanjat dan menuruni tebing curam dan licin. Sebagian peserta merasakan tergelincir saat menuruni tebing. Untungnya banyak akar-akar pohon yang dijadikan tali untuk memanjat dan menuruni tebing.
Air terjun Pantangolemba akhirnya berhasil dicapai dengan sisa-sisa tenaga. Sebuah pemandangan menakjubkan dari aliran air bening bermgemuruh jatuh dari tebing batu setinggi 20 meter, membentuk kolam berbuih seluas 30 meter persegi. Untuk menjamah air segarnya, kita harus turun lagi menggunakan bantuan seutas tali hutan setinggi hamper 11 meter, mungkin lebih. Tidak semua memilih turun ke air. Sebagian hanya menyaksikannya dari atas tebing. Tenaga sudah habis. Tetapi memandangnya saja sudah sebuah kebanggaan. Mungkin sambil bergumam : saya sudah menaklukkan medan yang berat ini, sambil berpikir, bagaimana pulangnya nanti.
Penjelajahan ke air terjun ini sungguh menguji stamina dan emosi. Tetapi kerjasama yang solid diantara peserta mampu melampauinya. Lebih dari itu perjalanan ini menunjukkan kuatnya solidaritas dan persaudaraan. Setara, tidak mengenal jenis kelamin dan saling bantu benar-benar dipraktekkan dalam perjalanan disini.

Kelak diakhir seri perjalanan Jelajah Geopark Poso, kisah menuju ke air terjun Pantangolemba menjadi kisah yang tidak habis diceritakan. Dia menjadi ukuran jika ingin menguji kemampuan menerabas rimba belantara.
Teriakan Huuuu….Hoiiii… sepanjang perjalanan pulang menjadi alat konfirmasi dari penanda jalan yang terbuat dari ranting yang ditebang. Teriakan yang sekaligus penyemangat.
Awalnya sesuai jadual, semua akan tiba kembali di tenda pukul 12:30 wita. Namun seluruh peserta baru berhasil tiba pukul 13:40 wita. Dibawah, makanan sudah menanti.
Dari air terjun Pantangolemba, perjalanan dilanjutkan ke situs Hipostratotipe yang terpahat di tebing jalan antara Desa Tangkura dengan Desa Dewua di Kecamatan Poso Pesisir Selatan.
Tempat ini istimewa karena dengan jelas menunjukkan proses perubahan bumi yang berlangsung sejak jutaan tahun lalu bagaimana lautan yang karena proses tektonik terangkat ke permukaan sedikit demi sedikit hingga sekarang menjadi bukit. Proses ini masih terus berlangsung tanpa kita sadari.
Sayangnya, karena hujan, banyak peserta yang menuju ke lokasi ini mengendarai motor terhalang hujan dan harus berteduh. Tetapi mereka telah mendapat penjelasan mengenai salah satu bukti geology ini dari Riska Puspita, dosen Geologi Universitas Tadulako.
Dari Hipostratotipe, perjalanan sore menjelang malam dilanjutkan ke Desa Malitu, secara geografis letaknya disebelah timur Desa Tangkura, hanya dipisahkan gugusan perbukitan yang tidak begitu tinggi.
Di Desa Malitu, topik penjelajahan berubah dari geologi ke arkeologi dan budaya. Disini kita melihat sebuah bangunan Gereja yang pertama kali digunakan 6 September 1933. Tahun ini gereja berbahan papan yang sudah tidak digunakan itu akan berusia 92 tahun.
Sebagai bukti sejarah masuknya salah satu agama Samawi ke pedalaman Poso, kondisi Gereja ini sungguh menyedihkan. Sejumlah tokoh masyarakat mengatakan, mereka sudah bersepakat untuk membongkarnya. Padahal ini adalah salah satu cagar budaya yang ditetapkan Bupati Poso tahun 2024.
“Karena sudah membahayakan. Terutama bagi anak-anak yang biasa bermain disekitar bangunan ini”kata Cristian Bakumawa, ketua Adat Desa Malitu yang menyambut tim Jelajah Geopark.
Bukan tanpa upaya, mereka sudah mengajukan usulan perbaikan. Salah satunya ke Balai Pelestari Kebudayaan (BPK) wilayah XVIII yang kemudian juga sudah turun untuk melihat langsung kondisi bangunan ini.
Di akun media sosialnya, BPK wilayah XVIII pada bulan Mei 2024 menyatakan sudah melakukan studi teknis pemugaran Gereja yang pembangunannya di inisiasi oleh A.C Kruyt di tahun 1914 itu.
Entah karena apa, hingga bulan Juni 2025, lewat setahun sejak dilakukan studi teknisnya, proses rehabilitasi bangunan mengusung perpaduan arsitektur Eropa dengan jendela-jendela dan pintu besar yang membuka keluar dengan arsitektur Pebato, salah satu anak suku Pamona yang ditunjukkan dalam bentuk panggung itu belum kunjung terlaksana.

Masih terkait Gereja tua Malitu, malam itu juga tim Jelajah Geopark menuju ke pantai Popakuni di Kelurahan Mapane, Ibukota Kecamatan Poso Pesisir. Dahulu, disinilah pusat keramaian dan perdagangan Poso. Pelabuhan dagangnya didatangi kapal-kapal dari seantero nusantara hingga Temasek. Ditempat ini juga A.C. Kruyt pertamakali menginjakkan kakinya di Poso.
Dia bertemu tokoh masyarakat sekaligus saudagar bernama Haji Baso Ali. Keduanya berbincang dan makan bersama di rumah Baso Ali. Belum ada catatan jelas apa tepatnya yang mereka percakapkan.
Tetapi, Syarifudin Odjobolo, salah satu keturunan Baso Ali menceritakan, mereka berbincang banyak hal. Salah satunya, tuan Kruyt disarankan untuk pergi ke sebuah kampung disebelah selatan Takule. Kini tempat itu dikenal sebagai awal mula Desa Malitu.
“Ditunjukkan jalannya menyusuri tepi sungai Mapane. Nanti dia (A.C.Kruyt) akan menemui sebuah pemukiman di tepi sungai”kata Syarifudin Odjobolo dalam perbincangan di teras Masjid Al Amin. Masjid ini juga menjadi saksi sejarah masuknya Islam di tana Poso. Disebelahnya ada rumah panggung yang dibangun peninggalan Baso Ali yang dipugar pertama kali tahun 1918.
Pertemuan orang beda agama, Baso Ali dengan Kruyt hampir 100 tahun lalu itu mewariskan sikap toleran dan terbuka pada masyarakat Poso saat ini. Bahkan di panasnya konflik yang mendera di tahun 1998-2003, mereka yang bertikai masih menunjukkan sikap itu. Kita melihat masjid Al Amin, rumah tua peninggalan Baso Ali, Gereja Betesda Kasiguncu dan Gereja tua Malitu sama sekali tidak tersentuh.