Sudah setahun lebih air danau Poso tidak lagi surut, tepatnya sejak Juli 2020. Awalnya para petani kira ini adalah fenomena alam yang terjadi karena curah hujan yang tinggi. Namun saat curah hujan rendah, sawah masih tergenang. Dicek, air danau Poso tidak surut.
Ambrawati, petani desa Toinasa kecamatan Pamona Barat termasuk yang mulanya mengira ini fenomena alam. Dia sudah bersiap memanen padi di atas sawah seluas 1,6 hektar miliknya. Tiba-tiba, 2 pekan sebelum panen tiba, danau Poso meluap merendam padi.
“Yang saya dapat hampa, ekonomi kami sekarang hampa. Padahal saya hitung-hitung sawah kami itu sekali panen hasilnya tiga ton beras. Sekarang saya tinggal pigi makan gaji ( buruh tani – red), padahal dulu kami sejahtera” kata Ambrawati.
Dari 1,6 hektar sawahnya kini tinggal 2 petak yang masih bisa ditanami. Hasil panen dari 2 petak itu tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Ambrawati hanyalah satu dari ratusan petani di pinggir danau Poso yang kini tidak lagi bisa mengolah sawah karena tidak surutnya air danau Poso yang kemungkinan memang tidak akan surut mengikuti siklus musim seperti sebelumnya. Hal ini setelah bendungan PLTA Poso I milik PT Poso Energi yang berlokasi di desa Saojo kecamatan Pamona Utara membendung air sungai Poso, satu-satunya pintu keluar air danau Poso menuju laut sejak bulan April 2020.
Air danau Poso yang tidak kunjung surut bukan saja bikin petani tidak bisa tanami lagi sawahnya. Tapi juga berpotensi merusak ekosistem. Ada potensi persoalan ekologi yang akan mengancam.
Peneliti di Institut Mosintuwu Kurniawan Bandjolu mengatakan, perubahan yang terjadi di danau Poso akibat proses pengerukan di mulut danau hingga ke sungai serta naiknya muka danau akan punya konsekuensi jangka panjang.
“Ada dampak akumulatif yang akan terjadi, terutama terhadap spesies yang ada di danau dan sungai Poso”kata Kurniawan. Beberapa spesies endemik di danau dan sungai Poso membutuhkan pasang surut danau karena ekosistem hidupnya.
Dijelaskan Kurniawan, jenis ikan endemik Bungu Masiwu (Mugilogobius sarasinorum) bermigrasi ke sungai-sungai inlet pada saat muka air danau Poso sedang tinggi. Jenis ikan ini ditemukan melimpah di Sungai Bo’e, Kecamatan Pamona Selatan. Pada saat muka air danau turun, ikan ini tidak ada di sungai tersebut walaupun air di sungai tadi tetap mengalir. Pada waktu muka air naik, ikan tersebut mencari sumber makanan seperti serangga yang memang lebih banyak di wilayah sungai inlet daripada di Danau.
Hal yang sama terjadi pada ikan sidat (Anguilla spp.), ikan asli danau Poso ini beruaya ke laut Poso. Migrasi sidat dipengaruhi oleh fluktuasi muka air. Jika muka air tinggi, ikan sidat akan tetap bermigrasi ke muara. Hal ini diamati terjadi sepanjang tahun 2021. Jika sidat terus bermigrasi, hasil tangkapan tetap banyak setiap tahun, tidak lagi mengikuti musim.
Sebelumnya sejumlah ahli diantaranya Profesor Krismono dalam percakapan dengan media mosintuwu.com pada 15 September 2021, sudah mengkhawatirkan keberadaan 2 bendungan milik PLTA di sungai Poso menghalangi proses ruaya Sidat dari teluk Tomini menuju Danau Poso.
Selain biota, di beberapa titik Enceng Gondok sudah terlihat tumbuh subur. Biasanya, jika air danau surut, ombak mendorong tanaman ini ke pinggir dan akan mati dengan sendirinya karena kering, sehingga tidak berkembang seperti di danau Limboto, Gorontalo.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan meskipun menjadi program prioritas nasional namun keberadaan proyek PLTA tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Apalagi sampai menyingkirkan para petani dari tanahnya. Ahmad Taufan mengatakan bahwa jika dampak PLTA menyebabkan sawah tenggelam selama 2 tahun, penghidupan kesejahteraan masyarakat terganggu, maka ada potensi pelanggaran hak asasi manusia. Pernyataan ini disampaikan Ahmad Taufan saat merespon para petani yang menyampaikan keluhan atas sawah-sawah mereka yang terendam dalam kunjungannya di Tentena, Kamis 30 September 2021.
Selain menyebut ada potensi pelanggaran HAM yang dialami para petani akibat peristiwa ini , Ketua Komnas HAM menyebut potensi kerusakan ekologis yang akan berdampak langsung kepada manusia apabila pembangunan tidak memperhatikan kelestarian alam. Menurutnya, kerusakan yang terjadi akibat perubahan bentang alam bukan hanya mengganggu petani dan nelayan namun juga puluhan ribu warga yang lain yang memanfaatkan danau Poso dan sungainya.
Masih menurut Ahmad Taufan, kerusakan atau gangguan yang tadinya hanya berdampak pada spesies di danau dan sungai hanya gejala awal yang nantinya akan berdampak. Karena itu para ahli hak azasi manusia sekarang sudah memasukkan kerusakan ekologis sebagai dari pelanggaran hak azasi manusia. Komnas HAM sendiri juga sudah mengakomodasi itu.
Kepada pengambil kebijakan, Ahmad Taufan mengatakan mereka harus kembali datang untuk bicara kepada masyarakat. Mendengarkan aspirasi. Kemudian memeriksa kembali semua dokumen-dokumen yang sudah ada, contohnya apakah Amdalnya benar? dan apakah memang sudah disosialisasikan kepada warga dipinggir danau Poso.
Pemerintah maupun perusahaan, dalam pandangan Komnas HAM, jangan hanya katakan sudah ada Amdal. Amdal itu harus terbuka karena berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat banyak. Warga yang punya kepentingan langsung dengan kebijakan apapun di daerah karena kehidupan tergantung disitu. Jadi meskipun ada Amdal, namun tidak bisa mengabaikan prinsip partisipasi masyarakat dan akuntabilitas.
“Kemudian tidak bisa dengan hanya mengatakan, ini sudah ada MOU antara perusahaan dengan pemda. Tidak bisa. Karena yang akan terdampak dari proyek ini adalah masyarakat. Karena masyarakat punya kepentingan hukum disitu untuk terlibat penuh dalam tahapan demi tahapan untuk memastikan hak mereka tidak terganggu” Lanjutnya .
Para petani sendiri mengungkapkan tidak menolak proyek PLTA itu sepanjang tidak mengganggu kehidupan mereka. Kepala desa Dulumai kecamatan Pamona Puselemba, Efren Ponangge mengatakan, ketika tanah desa mereka dibeli murah untuk pembangunan tower PT Poso Energi beberapa tahun lalu, mereka masih berusaha memakluminya. Namun setelah sawah milik 54 keluarga di desanya yang terendam hendak dikompensasi dengan beras 10 kilogram per are ,dia menolak.
“Itu jumlah yang tidak masuk akal bagi kami. Saya meminta supaya Bupati, Wakil Bupati dan anggota dewan supaya menyeriusi apa yang sedang kami alami ini” kata Efren Ponangge.
Tawaran 10 kg per are bagi petani yang sawahnya terendam ini juga ditawarkan perusahaan di beberapa desa lain. Ambrawati menyebut tawaran ganti rugi ini menghina petani. Ambrawati menjelaskan sawah yang diolahnya 1 ha bisa menghasilkan 2 – 3 ton. Hasil sawah inilah yang membiayai kehidupan keluarga para petani, termasuk membiayai pendidikan dan kesehatan.
“Anak saya ada yang menjadi polisi, menjadi guru, dan lainnya kuliah karena hasil sawah. Hanya dari hasil sawah. Itu artinya sawah kami ini kehidupannya kami sehari-hari dan di masa depan” ujar Ambrawati.
Saat ini desa Meko, Buyumpondoli, Tonusu, dan Dulumai, didampingi LBH Poso, para pemilik sawah kemudian mengajukan keberatan kepada perusahaan milik keluarga mantan wapres Jusuf Kalla itu.