Warga Korban MIT dan Kegagalan Operasi Keamanan

2
3836
Petani kakao di Poso Pesisir menjemur kakao hasil panen di kebun.Foto : Mosintuwu/Ray

POSO, 1 Desember 2020 – Pembunuhan empat warga Dusun 5, Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, bukan saja menambah daftar panjang petani yang menjadi korban Mujahidin Indonesia Timur (MIT), tetapi juga menunjukkan berbagai kegagalan operasi keamanan oleh pemerintah Indonesia, yang selama ini dilakukan di wilayah Sulawesi Tengah. 

Sejak MIT didirikan oleh Santoso pada tahun 2012 dan berlanjut dipimpin Ali Kalora sejak 2016, gerombolan ini telah membunuh 22 yang semuanya adalah petani, dengan latar belakang agama dan suku berbeda-beda. 

“Kita mendesak polisi menangkap dan memeriksa para pelaku. Mereka perlu diadili. Kebenaran harus dicari dan keadilan ditegakkan,” kata Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu. “Banyak petani sudah jadi korban gerombolan MIT, untuk kebutuhan pernyataan politik mereka atau karena diduga menjadi banpol” 

Banpol adalah istilah orang yang membantu polisi dalam berbagai operasi keamanan. Dalam catatan Institut Mosintuwu, dua petani yakni Daeng Tapo dan Ajeng, dibunuh gerombolan karena kebun mereka menjadi tempat Satgas Tinombala singgah. Meskipun, kebun mereka juga sering menjadi tempat lalu lalang gerombolan MIT. Jauh sebelumnya, tanggal 02 September 2014, Fadli juga dibunuh dengan keji setelah dicap banpol oleh gerombolan MIT.

Baca Juga :  Kartini-Kartini di Poso : Refleksi dan Komitment

Santoso terbunuh pada 18 Juli 2016, Ali Kalora, mengambil alih kepemimpinan MIT. Mereka melanjutkan pembunuhan di pinggiran hutan pegunungan sebelah barat Kabupaten Poso, yang membentang hingga Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi.

Gunung Biru bagian dari gugusan pegunungan Pompangeo membentang di kecamatan Poso Pesisir Selatan hingga Poso Pesisir Utara. Wilayah pegunungan yang menjadi lokasi operasi awal gerombolan sejak 2012. Saat operasi-operasi keamanan digelar untuk memburu mereka, gerombolan ini bersembunyi hingga ke wilayah pegunungan selatan Kabupaten Parigi Moutong, yang berbatasan dengan kabupaten Poso.

Ketika terdesak, gerombolan ini berpindah lagi ke hutan barat yakni wilayah Lore di Kabupaten Poso hingga kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, yang berbatas dengan kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah. 

Selain melakukan pembunuhan pada petani di Kabupaten Poso, gerombolan juga melakukan pembunuhan terhadap petani di wilayah seperti desa Tamadue kecamatan Lore Timur kabupaten Poso dan desa Lembantongoa kecamatan Palolo kabupaten Sigi.

Berikut data korban gerombolan MIT sejak tahun 2012 hingga November 2020 yang dihimpun oleh Institut Mosintuwu :

Baca Juga :  Cerita Rakyat untuk Mitigasi Bencana

Sejak 2012, gerombolan MIT melakukan 13 aksi keji, 8 diantaranya adalah pemenggalan dan 4 penembakan terhadap petani.

Atas nama menumpas aksi MIT, pemerintah Indonesia menjalankan serangkaian operasi keamanan sejak 2012 dengan berbagai nama sandi, antara lain: sandi Sadar Maleo (Januari – Desember 2012), Aman Maleo (Januari 2013 – Desember 2014), Camar Maleo (Januari 2015-Desember 2015), dan Tinombala (sejak Desember 2016). Dengan operasi sebanyak ini, sudah ribuan pasukan polisi dan militer datang ke Sulteng, akan tetapi aksi keji MIT terus terjadi dan justru warga terus menjadi korban.

Pada 9 April 2020, Qidam Movance menjadi korban salah tembak aparat keamanan karena dikira anggota gerombolan MIT. Mirisnya, korban ditembak mati di belakang kantor Polsek Poso Pesisir Utara. Pada 2 Juni 2020, aparat keamanan menembaki 6 orang petani yang sedang beristirahat di sebuah pondok di kebun di kilometer 8 Desa Kawende. Syarifudin dan Firman meninggal ditempat.  Hingga saat ini tidak terdengar proses pengadilan terhadap anggota kepolisian yang melakukannya. 

Baca Juga :  Mesidoe , Perjalanan Menemukan Kembali Kehidupan Danau

Direktur LBH Poso, Taufik D Umar mengatakan bahwa pemerintah harus segera mengevaluasi operasi keamanan di Poso, termasuk memeriksa SOP pelaksanaan operasi. Banyaknya korban salah tembak, menurut LBH Poso disebabkan ketidakjelasan SOP. Selain itu, penting untuk menjelaskan secara transparan kepada warga Sulawesi Tengah bagaimana dan seperti apa capaian operasi keamanan ini. 

“Kita selaku masyarakat sipil tidak mengetahui seperti apa perkembangan operasi-operasi itu sejak dahulu sampai sekarang. Yang ada di kepala kita hanya, operasi ini mengejar sekian puluh orang sampai menurunkan ribuan personil dari berbagai matra, termasuk melibatkan pasukan khusus”, ujar Taufik. 

Respon pemerintah, yang proporsional dan tepat, tanpa toleransi terhadap pelanggaran hak asasi manusia, adalah alat ukur dalam menguji efektivitas dari kebijakan kontra-terorisme di Sulawesi Tengah.

“Kekerasan ini akan terus berulang, teror menyebar, dan warga akan terus menjadi korban jika tidak dilakukan evaluasi atas operasi keamanan yang selama ini dilakukan” kata Lian.

2 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda