Toponimi, Mengenal Sejarah Peristiwa Besar dan Potensi Bencana

0
5831
Kota Poso dari atas . Foto : Dok. Mosintuwu

“Bonesompe, artinya pasir yang menumpang” pernyataan Pak Kabaya, anggota Aliansi Penjaga Danau Poso mengejutkan banyak peserta workshop Ekspedisi Poso. Saat itu, 22 Februari di Dodoha Mosintuwu, sedang diadakan kajian cerita rakyat sebagai bagian dari proses persiapan ekspedisi Poso. Bonesompe adalah kelurahan yang terdapat di wilayah Kota Poso, Kabupaten Poso. Di wilayah yang memiliki arti pasir menumpang ini, Pemerintah Kabupaten Poso merencanakan membuat jembatan megah, mirip seperti jembatan kuning di kota Palu yang saat ini sudah runtuh diterpa gempa dan tsunami.

Penamaan sebuah wilayah dan peristiwa alam, oleh tim ekspedisi Poso sangat berkaitan.

“ Bumi kita tidaklah statis atau diam” Demikian kepala prodi Geologi Universitas Pertamina Jakarta, Abang Surya Nughara, menegaskan “ setiap tahun permukaan bumi kita terus bergerak atau bergeser meski tidak kita sadari. Pergeseran terus menerus ini mempunyai konsekuensi diantaranya berupa gempa bumi atau longsor”

Ega, panggilan akrab peneliti geologi Sulawesi yang juga anggota Ekspedisi Poso ini menyebutkan bahwa peristiwa pergeseran terus menerus menimbulkan gempa dan peristiwa alam lainnya ini. Hal ini sudah terjadi sejak masa lampau. Peristiwa ini meninggalkan banyak jejak. Orang-orang tua terdahulu bahkan menamai kampung atau bekas tempat terjadinya bencana untuk mengingat peristiwa itu. Karena itu mengenal bahasa setempat sangat penting untuk mengetahui sejarah karena bisa bermula dari nama kampung kita sendiri.

Baca Juga :  Menyemai Perubahan : Buku Kisah Anak Muda Rekonstruksi Paska Bencana

Iksam Djorimi, kepala museum Sulawesi Tengah mengatakan, toponimi atau penamaan suatu wilayah berdasarkan sebuah peristiwa dimasa lampau penting untuk diketahui. Di Sulawesi Tengah, salah satu suku yang sangat sering menamai kampungnya berdasarkan sebuah peristiwa masa lalu adalah suku Kaili. Selain melalui toponimi suku ini juga mewariskan ingatan tentang peristiwa itu lewat cerita atau tutura atau Dulua. Di Poso dikenal dengan nama Kayori dan Mo laulita. Kayori, dalam tradisi Poso adalah sajak yang sarat dengan pesan-pesan penuh makna. Mo laulita adalah mendongeng dalam tradisi Pamona yang dilakukan dengan melantunkan sebuah cerita.

Salah satu Dulua atau Kayori suku kaili yang terkenal berbunyi Agina Mainga, Ne’ Maonga artinya lebih baik waspada atau berhati-hati daripada tenggelam. Dikatakan Iksam, selain pepatah itu, dalam suku kata Kaili terdapat juga peringatan yakni ‘Nacapa’ yang artinya tahu resikonya tapi tetap nekat melakukan. Bisa dikatakan pula bahwa ini artinya mengabaikan peringatan.

Nacapa inilah yang akhirnya membuat ribuan orang menjadi korban dalam bencana 28 September 2018 lalu saat gempa bertenaga 7,4 SR mengguncang pantai barat Donggala, mengirim tsunami setinggi 3 sampai 11 meter hanya dalam rentang 8 menit serta melumerkan tanah yang menelan manusia dan bangunan diatasnya yang dikenal dengan Likuifaksi. Mengabaikan peringatan yang dikirimkan oleh leluhur melalui penamaan maupun cerita rakyat ini , terlihat ketika para perencana pembangunan dapat mengenal wilayah dari pemberian nama wilayah, tetapi tetap merencanakan pembangunan yang tidak memperhitungkan sejarah penamaan dan gerakan bumi.

Baca Juga :  Poso, Situs Narasi Multitekstual Agama untuk Teologi Kontekstual Pembebasan

“Sangat penting semua orang mengenal ulang asal kata desa, wilayahnya” demikian Iksam, anggota Ekspedisi Poso menyampaikan pendapatnya. Beberapa desa yang rusak parah dalam peristiwa tanggal 28 September 2019 teridentifikasi merupakan desa-desa yang memiliki arti nama yang kurang baik.

Reruntuhan rumah di kota Donggala. Donggala , secara toponimi berarti tumbuhan dalam ekosistem Manggrove yang memiliki keunikan pada bunga. Foto : Dok. Mosintuwu

Neni Muhidin, aktivis literasi bencana yang juga anggota Ekspedisi Poso dalam banyak tulisannya mengingatkan masyarakat tentang toponimi. Neni mendaftar nama-nama desa yang hancur dengan mengidentifikasi toponimi-nya. Rogo, misalnya, yang artinya hancur; atau Tompe, yang artinya meluapnya air laut akibat pasang. Kaombona artinya Runtuh atau tanah runtuh, yang merupakan salah satu lokasi bekas tsunami di kota Palu yg terjadi tahun 1927. Kemudian ada kelurahan Duyu, artinya longsor. Sementara, Balaroa, wilayah yang mengalami likuifaksi , 1400an rumah hilang ke dalam tanah dulunya bernama Lonjo yg artinya terbenam. Lalu, Desa Loli Tasiburi di Donggala yang mengalami terjangan tsunami yang parah, Tasiburi artinya laut yg menghitam.

Dalam ekspedisi Poso yang digagas sejumlah masyarakat pinggiran danau Poso bersama para akademisi dan para ahli, akan melaksanakan perjalanan menelusuri dan mencatat jejak sejarah, budaya dan kekayaan alam Poso serta bencana yang pernah terjadi. Nantinya akan dijadikan bahan untuk menyusun masukan bagi rencana pembangunan kepada pemerintah setempat. Apalagi, Kabupaten Poso sendiri dilalui tiga sesar , yaitu sesar Poso Barat , sesar Poso dan sesar Tokararu.

Baca Juga :  Membincang Taman Bumi Danau Poso, Mungkinkah?

“Kita mengajak masyarakat untuk mulai menelusuri sejarah desanya” kata Lian Gogali, ketua Ekspedisi Poso “ Bisa dimulai dari mencari tahu toponimi wilayahnya”

Mengetahui Toponimi, menurut Lian, bukan hanya untuk memastikan rencana pembangunan yang akan dilakukan mempertimbangkan sejarah alam di sekitarnya tapi juga akan membantu masyarakat membangun sistem kebudayaan untuk mitigasi bencana. Menemukan toponimi Bonesompe adalah pasir yang menumpang, harus menjadi pengingat sejarah yang pernah dimiliki oleh wilayah tersebut.

Selain melalui penamaan dan sastra, masyarakat lembah Palu dan sekitarnya juga memiliki kebiasaan menandai bekas bencana dengan menanaminya pohon besar. Sama dengan sebagian orang Poso yang memaknai suara burung dengan peristiwa-peristwa yang akan terjadi, demikian pula dengan masyarakat lembah Palu. Suara burung kadangakal dianggap sebagai pembawa pesan.

Seperti diceritakan Rukmini Paata Toheke, pegiat AMAN Sulteng, malam sebelum bencana itu dirinya dan orang sekampung di desanya Ngata Toro kabupaten Sigi mendengar ayam jantan dan betina berbalas kokok. Menurut para tetua kampung, suara ayam bersahut-sahutan pada malam itu pertanda akan terjadinya peristiwa alam.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda