Menegakkan Hak di Jantung Tambang, Pelajaran dari Forum Bisnis dan HAM Asia-Pasifik

0
49
Tambang nikel dikelilingi perkebunan sawit di Morowali Utara. Foto : Dok. Mosintuwu

HAJATAN UN Responsible Business and Human Rights Forum, Asia-Pacific 2025, telah berakhir. Mosintuwu Institut mengutus dua wakilnya di forum tahunan yang berlangsung di Pusat Konferensi PBB (UNCC), Bangkok, 16 – 19 September. Tak hanya Institut Mosintuwu – Rights Colabs sebagai penyelenggara mengundang organisasi lain dari Sulteng, WALHI  dan Perempuan Mahardika. Dari Jakarta mengundang Elsam dan Satya Bumi.

Forum ini menawarkan ruang untuk mengkaji kemajuan, memusatkan suara yang paling terdampak dan menyelaraskan solusi praktis berbasis hak asasi manusia.  Agenda Forum mencakup beragam isu mendesak.

Mulai dari buruh, upah layak, transisi yang adil hingga transformasi digital. Selain itu, kerangka kerja ESG (Environment, Social, Governance) sebuah konsep untuk mengukur dampak dan kinerja keberlanjutan sebuah organisasi atau perusahaan dalam praktek kerjanya dan hak asasi manusia. Sesi-sesi ini menyoroti solusi praktis, pendekatan inovatif dan kepemimpinan regional dalam memajukan bisnis yang bertanggung jawab dan akses terhadap pemulihan.

Berdasarkan agenda resmi Forum Responsible Business & Human Rights (RBHR) hajatan 4 hari ini diisi dengan berbagai sesi diskusi sebagai bagian dari pra-acara. Institut Mosintuwu memilih mengikuti sesi yang relevan dengan persoalan investasi di Sulawesi Tengah, termasuk topik transisi energi, masyarakat adat, hak perempuan, perburuhan, tambang dan isu lingkungan.

Sehari sebelum pembukaan UNBHR peserta yang diundang oleh Right Colabs, mengikuti sesi diskusi bertema Investor HREDD expectation about company engagement with afected stakeholders in indonesian nickel minning industry. Diskusi ini menghadirkan sejumlah pembicara di antaranya, Edwin Rekosh Co Founder & Managing Partner Right Colabs.  Dari Indonesia ada Theresia Iswarini mantan komisioner Komnas Perempuan dan Andi Mutaqin Eksekutif Director Satya Bumi, Benyamin Mc Carron dari ARE Centre Limited, sebuah perusahaan yang mengembangkan Bio teknologi yang berbasis di Singapura dan Matthew Casdin dari Impact Investment Exchange(IIX), sebuah perusahaan investasi yang juga berbasis di Singapura.

Diskusi yang berlangsung hampir sejam ini Andi Mutaqien memaparkan situasi tambang nikel di Indonesia. Mulai situasi perburuhan, kerusakan lingkungan hingga kondisi masyarakat.  Secara umum diskusi ini ingin memperjelas kebutuhan yang dibutuhkan investor. Termasuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan pertambangan, khususnya dalam hubungan dan komunikasi dengan masyarakat terdampak. Hingga, membantu masyarakat sipil/pemangku kepentingan lokal agar memahami perspektif investor tentang apa yang mereka butuhkan.

Transisi Energi dan Kolonialisme Hijau

Dunia tengah berpacu mengejar energi bersih. Mobil listrik dan penyimpanan energi membutuhkan bahan baku utama, nikel, kobalt hingga litium. Di peta global, Indonesia khususnya Morowali, Morowali Utara dan wilayah sekitar Sulawesi Tengah, menjadi pusat strategi pasokan mineral itu.

Namun, paradoks pun muncul. Ekspansi tambang nikel justru menciptakan persoalan baru. Hutan dibabat,  tanah rusak, industri peleburan menebar emisi, laut tercemar limbah, masyarakat sekitar mendapat tambahan penyakit mematikan.

Laporan riset dari sebuah lembaga penelitian independent, AEER 2024 menyimpulkan Sulteng tidak mendapat keuntungan signifikan dari program hilirasasi nikel. Dari Rp400 triliun lebih yang diperoleh dari eksport, Sulteng hanya meraup Rp200-an miliar. Sementara kerusakan lingkungan berlangsung massif.

Baca Juga :  Buruh Perempuan di Smelter Nikel : Tak Terlihat, Tidak Terjamin

Institut Mosintuwu juga mengantongi fakta di lapangan, bahwa kerusakan lingkungan, peminggiran hak-hak perempuan dan pelanggaran hak buruh menjadi problem serius yang terjadi di perusahaan tambang nikel ini.

Di forum itu, Rujak Energy Platform (REP) menyebut fenomena ini sebagai “kolonialisme hijau”. Negara-negara maju membersihkan jejak energinya, tetapi biaya sosial dan ekologi justru ditanggung oleh masyarakat adat dan komunitas lokal di wilayah penghasil.

Beberapa pembicara menyoroti keras isu ini. Dalam salah satu sesi yang digelar bersama Fair Finance Asia, di hari ketiga, suara Joan Carling terdengar tegas. Direktur Eksekutif Indigenous Peoples Rights International (IPRI) mengingatkan dunia bahwa transisi hijau tidak selalu berarti adil.

‘’Masyarakat adat justru yang paling sedikit meninggalkan jejak karbon. tetapi kamilah yang paling menderita,’’ ujarnya. Ia menuturkan bagaimana proyek energi terbarukan kerap hadir dengan wajah bengis. Pencurian tanah dan sumber daya, udara yang tercemar, pangan yang kian rawan hingga intimidasi dan serangan kekerasan.

Joan secara telak mengatakan, transisi energi yang digadang-gadang sebagai solusi iklim bisa menjelma menjadi kolonialisme baru, ketika masyarakat adat terpaksa menanggung beban demi keuntungan pihak dari luar dirinya.

Di forum itu, bukan hanya Joan Carling yang bersuara. Pranisha Shakya pendiri sekaligus Direktur Community Empowerment and Social Justice Network (CEMSOJ) menyampaikan pesan penting. Ia mengingatkan bahwa mineral transisi, termasuk nikel yang kini jadi rebutan dunia, bukanlah solusi otomatis. “Harusnya ada standar HAM dan lingkungan yang kuat,” tegasnya. Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan bebas, didahului dan diinformasikan menurutnya wajib ditegakkan, begitu juga dengan mekanisme akuntabilitas.

Pranisha tidak hanya berbicara dalam tataran konsep. Ia mengutip pengalaman nyata dari komunitas yang terdampak di Asia. Ada yang kehilangan tanah, ada pula yang hidup di tengah polusi. Dengan itu, ia menunjukkan jurang yang menganga antara peraturan yang tertulis di atas kertas dan praktik lapangan yang jauh dari janji.

Energi transisi seharusnya menjadi jalan menuju masa depan yang adil. Tapi jika dijalankan dengan pola lama seperti ekstraksi besar-besaran, marginalisasi adat dan ketidakadilan sosial maka ia hanya mengubah baju menjadi kolonialisme hijau . Sulteng hari ini berdiri di titik kritis: apakah akan menjadi contoh transisi yang adil atau sekadar ladang eksploitasi baru demi listrik bersih di kota-kota global.

Panel dengan topik Investor facing HERDD yang diorganisir oleh Konsorsium Riset Tambang Nikel di Indonesia, dalam forum URBHR 2025 di Bangkok. Foto : Konsorsium Riset Tambang Nikel Indonesia.

Aktivis Perlu Berjejaring

Di sela padatnya sesi diskusi, usai makan siang peserta dari Palu dan Jakarta menggelar diskusi informal tentang perlindungan aktivis bersama Shivani Verma, HR Officer dari OHCHR. Verma sebenarnya tidak asing dengan situasi aktivis di Indonesia. Ia sempat beberapa saat tinggal di Indonesia, berdiskusi intens dengan aktivis khususnya di Papua.

Shivani membuka percakapan dengan nada serius. Ia bercerita tentang bagaimana aktivis sering kali berada di garis depan dengan isu-isu yang penuh risiko. Dengan berjejaring, aktivis kemanusiaan tidak hanya mendapatkan dukungan moral, tetapi juga advokasi bahkan perlindungan hukum ketika intimidasi menghampiri.

Baca Juga :  Kerincing Damai Anak Poso

Ia menekankan, dukungan dari luar negeri bukan sekadar menyelamatkan individu, melainkan menjaga kebebasan sipil agar terus bergerak. ‘’Mungkin saya tidak bisa menjamin ini akan berhasil karena saya paham situasi di Indoensia. Tapi saya bisa membantu melalui lembaga kami agar menekan Pemerintah Anda untuk melindungi kalian,’’ katanya.

Verma kini tidak bisa lagi masuk di Indonesia. Visanya dibekukan oleh Pemerintah Indonesia, karena sikap-sikapnya terhadap aktivis dan isu di Papua. Di sesi ini, beberapa perwakilan menyampaikan situasi di daerah masing-masing.

Termasuk bagaimana penerimaan Pemerintah dan masyarakat luas terhadap kerja-kerja aktivis di daerah. Problemnya nyaris sama. Pada daerah yang mempunyai kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) akses informasi sangat terbatas sehingga aktivis kesulitan melakukan advokasi.

Kemanusiaan yang Responsif Gender

Pada hari kedua konferensi di ruang 3, berlangsung forum yang isunya sangat dekat dengan situasi di Sulawesi Tengah yakni tentang, bagaimana memajukan aksi Kemanusiaan yang responsif gender.

Maria Holtsberg Wakil Direktur Regional di  Asia dan Pasifik UN Women, salah satu pembicara tampil di forum diskusi ini. Menurut dia  di tengah dunia yang kian sering dilanda krisis baik bencana alam, pandemi, konflik maupun guncangan ekonomi ada pertanyaan besar perlu dijawab.  Siapa yang bertanggung jawab memastikan masyarakat yang paling rentan tetap terlindungi? Jawaban tradisional katanya selalu mengarah pada negara dan lembaga kemanusiaan.

Namun dalam sesi ini diskusi berkembang ke arah yang berbeda.  ‘’Dunia usaha mulai dipandang sebagai aktor penting, bukan sekedar pemberi bantuan, melainkan mitra strategis dalam respon kemanusiaan,” katanya.

Para pembicara yang lain  menyoroti kenyataan pahit krisis tidak berdampak sama pada semua orang. Perempuan, anak, penyandang disabilitas dan kelompok marjinal kerap menanggung beban paling berat. Ketika perekonomian runtuh, perempuan lebih dulu kehilangan pekerjaan informal.

Saat bencana alam melanda, akses perempuan terhadap air bersih, pangan dan layanan kesehatan sering terhambat. Oleh karena itu, pendekatan yang disebut aksi kemanusiaan responsif gender menjadi penting. Bukan berarti memastikan perempuan menerima bantuan, melainkan membongkar ketidaksetaraan struktur yang membuat mereka paling rentan sejak awal.

Dari pengalaman ini menurutnya, muncul kesadaran baru. Dunia usaha memiliki kapasitas unik. Mereka menguasai rantai pasok, logistik dan teknologi yang kerap jauh lebih terkait daripada birokrasi negara. Tetapi kapasitas itu tidak bisa berhenti di tingkat teknis.

Veronica T. Gabaldon,  Direktur Eksekutif Yayasan Ketahanan Bencana Filipina (PDRF)  Filipina, mengatakan, perusahaan perlu didorong untuk mengintegrasikan prinsip kesetaraan gender ke dalam rencana kontinjensi mereka. Prinsip-prinsip seperti Women’s Empowerment Principles (WEPs) atau kerangka dari Connecting Business Initiative (CBi) menjadi referensi. Oleh karena itu, respons kemanusiaan tidak lagi bersifat ad hoc, melainkan bagian dari strategi keberlanjutan perusahaan.

Namun, diskusi juga tidak menutup mata pada tantangan. Ada risiko besar bila peran sektor swasta hanya dilihat sebagai pencitraan atau sekadar filantropi. Beberapa peserta mengingatkan pentingnya akuntabilitas.

Baca Juga :  Mesjid Al Amin, Titik Temu Orang Islam dan Kristen Poso

Bagaimana perusahaan memastikan bahwa bantuan mereka benar-benar menjangkau komunitas terdampak? Bagaimana suara perempuan lokal dilibatkan dalam perencanaan? Tanpa mekanisme partisipatif, intervensi perusahaan justru bisa menghasilkan ketimpangan lama.

Sesi ini akhirnya melahirkan satu benang merah. Membangun kepemimpinan sektor swasta dalam krisis bukan hanya tentang penyaluran dana atau penyediaan gudang logistik. Lebih dari itu, ini menempatkan perspektif gender dan keadilan sosial sebagai pondasi. Krisis memang tidak bisa dihindari, tetapi dampaknya bisa dikelola dengan lebih adil. Dengan dunia usaha yang sadar peran dan tanggung jawabnya, masa depan respons kemanusiaan di suatu kawasan bisa bergerak ke arah yang lebih inklusif.

Apa yang Bisa Direplikasi di Sulawesi Tengah

Dari pertemuan selama empat hari tersebut, setidaknya ada beberapa yang mungkin bisa diterapkan di daerah ini. Di Sulawesi Tengah, terutama di kawasan industri nikel Morowali dan Morowali Utara, suara komunitas lokal kerap tenggelam oleh deru mesin tambang. Namun, ada sejumlah elemen praktis yang bisa direplikasi untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menghadapi ekspansi industri.

Salah satunya adalah pendekatan community-led monitoring, di mana perwakilan adat dilatih untuk mengumpulkan data terstandar tentang dampak lingkungan dan hak asasi. Data ini bukan sekadar catatan, tetapi bisa menjadi bukti sahih dalam mekanisme Human Rights and Environmental Due Diligence (HREDD) perusahaan maupun regulator.

Pendekatan lain adalah penggunaan indikator hak asasi dan lingkungan yang peka konteks lokal. Indikator seperti hak atas tanah, persetujuan bebas tanpa paksaan (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC), atau degradasi lingkungan diterjemahkan dalam bahasa dan terminologi budaya Sulawesi Tengah.

Dokumentasi FPIC mulai dari notulen, daftar hadir, hingga rekaman suara menjadi senjata untuk membantah klaim perusahaan yang sering menyatakan “sudah konsultasi”. Sejumlah upaya serupa sebenarnya sudah berjalan.

WALHI Sulawesi Tengah, misalnya, aktif merilis riset dampak PLTU dan tambang, sekaligus mengonsolidasikan jaringan komunitas. Kelompok perempuan bersama solidaritas warga tapak juga mulai mengorganisir diri, khususnya dalam memasok data sosial-gender. Laporan investigatif media tentang pencemaran laut dan deforestasi bisa dipadukan menjadi indikator HREDD.

Tantangan tentu besar. Keselamatan aktivis dan penolakan perusahaan masih menjadi risiko nyata. Karena itu, dibutuhkan mitigasi perlindungan data, advokasi multi-pihak, hingga fase uji coba di satu-dua desa sebelum diperluas. Dalam konteks ini, Shivani Verma telah bersedia membantu. Jika elemen-elemen ini dirajut menjadi strategi bersama, mulai dari pelatihan komunitas, hingga lobi pemerintah daerah Sulawesi Tengah bisa menjadi contoh bagaimana komunitas di jantung tambang menegakkan haknya dengan data, bukti dan suara kolektif.

Dari Bangkok, gema forum itu sampai ke Sulawesi Tengah. Di antara deru smelter dan tambang nikel, komunitas adat dan warga lokal bisa menagih janji transisi yang adil kepada korporasi.  Jika itu dijalankan, Sulteng tak sekadar menjadi halaman belakang dari kolonialisme hijau. Melainkan contoh bagaimana masyarakat di jantung tambang bisa menegakkan haknya dengan suara kolektif.***

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda