Kandela, Simbol Kepahlawanan Orang Poso Melawan Kolonialisme

0
29
Air terjun Kandela, desa Tindoli, kecamatan Pamona Tenggara. Hanya berjarak sekitar 400 meter dari pusat pemukiman. (foto :dok. Institut Mosintuwu)
Air terjun Kandela, desa Tindoli, kecamatan Pamona Tenggara. Hanya berjarak sekitar 400 meter dari pusat pemukiman. (foto :dok. Institut Mosintuwu)

Banyak pahlawan dari Poso. Tidak semuanya dimakamkan di Taman Makan Pahlawan. Mereka dimakamkan layaknya orang biasa. Nama mereka juga tidak tercatat dalam buku negara. Tetapi orang Poso mengingatnya sampai hari ini.

Di Tandaha, kaki gunung di timur Desa Kandela, Kecamatan Pamona Tenggara tersimpan jejak kepahlawanan itu. Puncak bukit berdinding batu granit curam di ketinggian 900 mdpl menjadi benteng pertahanan alami yang sulit ditembus musuh. Namun layaknya banyak cerita perlawanan. Selalu ada pengkhianatan didalamnya.

Orang-orang tua di Desa Tindoli sampai hari ini mengenang tiga orang, Lunte, Labadji dan Ondja yang gugur dalam pertempuran melawan Mareschausse te Voet atau Marsose, satuan elit Kerajaan Belanda yang mulai digunakan menghadapi perlawanan gerilya rakyat Aceh tahun 1890.

Cerita turun temurun orang-orang tua di Tindoli mengatakan sebagian anggota Marsose yang turun menggempur Kandela berkulit coklat. Tidak heran, anggota Marsose memang campuran Ambon, Jawa, Madura dan Belanda.

“Benteng itu berhasil ditembus karena ada beberapa orang yang memberitahu pasukan Marsose dimana jalan rahasianya”cerita ngkay Mandjajara, seorang tokoh masyarakat Tindoli saat tim Jelajah Geopark berkunjung kesana pada 20 Mei 2025.

Sejarah memang ditulis oleh pemenang. Sejumlah laporan koran berbahasa Belanda dimasa itu hanya menuliskan peristiwa Kandela berdasarkan laporan residen atau sumber-sumber militer. Itu sebab cerita dari rakyat yang menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa saat itu tidak tercatat. Apalagi bila itu tidak menguntungkan penguasa. Seperti cerita masyarakat Desa Tindoli tentang pengepungan benteng Kandela yang masih dijaga sampai hari ini.

“Me ewa komi? tantang marsose kearah pasukan yang mempertahankan benteng. Teriakan kurang ajar itu dibalas tembakan dum-dum dari atas. Perang sengit pecah. Berkali-kali upaya marsose merangsek maju, selalu dipukul mundur menggunakan bongkahan batu-batu besar yang dijatuhkan dari puncak benteng oleh pasukan Kandela.

Seperti yang diceritakan beberapa orang tua di Tindoli, benteng itu kemudian jatuh akibat pengkhianatan. Belanda memakai beberapa orang yang mengetahui lokasi itu untuk menemukan jalan masuk rahasia. Marsose yang sudah terlatih akhirnya berhasil menaklukkannya.

Ngkay Mandjajara menceritakan, sebelum meninggal, para pejuang itu menggemakan seruan “Molonco pai Meewa” lari sambil melawan. Dalam bahasa sederhana, berarti bergerilya. Dia menyebut nama Lunte, Labadji dan Ondja diantara nama-nama pejuang Kandela yang gugur.

 

Menjadi Bagian Ekspedisi Penaklukan Sulawesi oleh Belanda

Sejarawan Poso, Pramaarta Pode, mengatakan, berdasarkan catatan dan arsip-arsip resmi kolonial, perang di benteng Kandela bukanlah perang sporadis, tetapi rangkaian ekspedisi penaklukan dari Sulawesi Selatan (Kerajaan  Bone dan Kerajaan Luwu). Kampanye militer itu pertama kali diluncurkan bulan Juni-Juli 1905 dengan kekuatan 3.000 prajurit Marsose untuk menyerbu Bone dan Luwu dan berhasil menaklukkan kedua kerajaan itu pada September 1905.

Petani di Desa Tindoli, Kecamatan Pamona Tenggara, membawa kerbaunya menuju kebun yang tidak jauh dari lokasi benteng Kandela. (foto :dok. Institut Mosintuwu)
Petani di Desa Tindoli, Kecamatan Pamona Tenggara, membawa kerbaunya menuju kebun yang tidak jauh dari lokasi benteng Kandela. (foto :dok. Institut Mosintuwu)

Dibulan dan tahun itu juga, rencana penaklukan Poso dimulai. Asisten Residen Engelenberg mengundang para pemimpin suku dari Napu dan Pebato untuk mengenalkan Belanda sebagai penguasa baru di Poso. Namun undangan pertemuan itu mendapat penolakan sejumlah tokoh di kedua suku. Penolakan ini oleh Belanda dianggap sebagai pernyataan perang.

Baca Juga :  Surat - surat Anak Poso The Letters of Poso's Children

Pengerahan pasukan ke wilayah Napu dicatat sejumlah media massa berbahasa Belanda saat itu. Diantaranya Zutphensche courant edisi 9 November 1905 yang memberitakan perihal ekspedisi pertama penaklukan Napu. Disebutkan, tanggal 21 Agustus, pasukan pertama dibawah komando Letnan Dua K. Jansma terdiri dari 40 pasukan bayonet mulai bergerak ke Napu. Gelombang kedua, pasukan berkekuatan 50 pasukan penembak ditambah 30 Polisi bersenjata bergerak dibawah komando panglima militer Menado, Letnan Satu Infanteri H. J. Voskuil menyusul guna memadamkan perlawanan orang-orang Napu.

Di dataran Poso, perlawanan diorganisir oleh Ta Batoki dan Ta Ntogia, pemimpin dari suku Lage dan Ondae. Bersama pasukannya membangun benteng pertahanan di wilayah Tamungkudena. Sebuah wilayah di sekitar Kelurahan Sawidago dan desa Kelei saat ini. Pada malam tanggal 23 September 1907, sebuah patroli di bawah Sersan Engels menyerang Tabatoki dan pasukannya. Penyerbuan itu menyebabkan 4 orang pasukan Tabatoki gugur. Dia sendiri dilaporkan berhasil meloloskan diri, bersama sisa pasukannya kemudian bergabung di benteng Tamungku (daerah Sulewana sekarang) bersama dengan Ta mPayau dan Ta Rame, dua tokoh perlawanan lainnya. Benteng yang disebut ‘Laki’ karena dianggap kuat itu kemudian jatuh oleh serangan pasukan Letnan Voskuil pada bulan Januari 1906. Mereka kemudian mundur ke Kandela. Sebuah benteng alam tersusun dari susunan batuan raksasa diatas bukit.

Pekuburan tua di ceruk batu, kaki benteng Kandela. Untuk sampai kesini butuh waktu sekitar 1 jam berjalan kaki dari pusat desa. (Foto : Dok. Institut Mosintuwu)
Pekuburan tua di ceruk batu, kaki benteng Kandela. Untuk sampai kesini butuh waktu sekitar 1 jam berjalan kaki dari pusat desa. (Foto : Dok. Institut Mosintuwu)

Pramaarta Pode menyebut, benteng Kandela sudah ada ketika pasukan yang mundur ini tiba disana. Dipimpin oleh Balongka, seorang pimpinan suku yang merupakan saudara Tampayau. Sejumlah catatan kolonial menyebut, di tahun 1906 ini Tabatoki telah menyingkir ke Luwu.

Benteng Kandela dipertahankan oleh sejumlah pasukan dipimpin trio Balongka, Tampayau dan Tonggelo, seorang kabose dari wilayah Buyumpondoli.

Setelah melalui persiapan panjang, pada 15 Februari 1906, 57 orang pasukan bayonet Belanda dipimpin Letnan Mark Peters bergerak dari arah selatan (sekitar Korobono) untuk menyerang Kandela. Lewat perang sengit selama 1 hari, pada 16 Februari 1906 Kandela jatuh ketangan Belanda. 5 orang gugur mempertahankan benteng itu, dari pihak Belanda disebut 4 orang terluka. Tampayau, Balongka dan Tonggole berhasil menyelamatkan diri dari kepungan rapat pasukan Belanda di benteng curam itu.

Bersembunyi di sebuah goa yang banyak terdapat disekitar Korobono, Ta mPayau dan Balongka kembali menyusun perlawanan. Namun, Belanda punya cara licik, menggunakan tetua suku lainnya, keduanya dibujuk untuk berdamai dengan Belanda. Salah satu yang dijanjikan adalah, Tampayau akan diangkat sebagai raja Poso.

Lalu disepakati, Ta mPayau dan Balongka akan bertemu delegasi Belanda di sebuah wilayah yang disebut Landeandopo. Pramaarta Pode menyebut, wilayah ini masih disekitar desa Korobono saat ini.

Baca Juga :  Mesidoe , Perjalanan Menemukan Kembali Kehidupan Danau

Seperti yang sudah bisa ditebak, janji itu hanya siasat Belanda untuk menangkap keduanya. Tonggelo yang berusaha mengingatkan dua sahabatnya itu terlambat datang. Pasukan Marsose telah mengepung lokasi itu, Balongka dan Ta mPayau melakukan perlawanan terakhir. Balongka gugur disana, Tampayau berhasil ditawan, sebelum kemudian dibunuh di wilayah sekitar Tando Bone. Jatuhnya benteng Kandela memuluskan Belanda menaklukkan wilayah Poso seluruhnya.

Ta Batoki bersama 30 pengikutnya kemudian melanjutkan perlawanan hingga ditangkap pada 1909. Tidak ada catatan jelas mengenai lokasi penangkapannya. Dia kemudian meninggal di penjara karena menolak makan.

 

Tempat Romantis untuk Menjelajah

Kandela adalah perpaduan 4 dimensi luarbiasa. Danau Poso, desa Tindoli yang bersejarah, air terjun dan benteng batu. Untuk mencapai tempat indah ini ada 2 pilihan. Pertama melalui Danau Poso, kedua lewat darat melalui Desa Korobono.

Perjalanan menuju benteng Kandela membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Menyusuri jalan setapak menanjak dengan pemandangan indah danau Poso dan hamparan sawah. (foto : Dok. Institut Mosintuwu)
Perjalanan menuju benteng Kandela membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Menyusuri jalan setapak menanjak dengan pemandangan indah danau Poso dan hamparan sawah. (foto : Dok. Institut Mosintuwu)

Kedua jalan ini punya keunikan sendiri. Melalui jalan darat, dari arah Tentena butuh waktu  2,5 jam melewati jalan berkelok-kelok. Beberapa bagian jalan, terutama dari Desa Korobono ke Tindoli dalam kondisi berlubang. Sambil bergoyang-goyang diatas kendaraan, kita masih dihibur oleh pemandangan hamparan sawah, kerbau yang berkubang dan Danau Poso.

Lewat danau, kita butuh waktu hampir sama. Menggunakan perahu yang juga menjadi alat transportasi harian masyarakat sekitar kita disuguhi pemandangan luarbiasa. Beningnya air, tebing-tebing batu yang unik menjadi saksi terbentuknya Danau Poso 5 juta tahun lalu. Ombak yang kecil di pagi hari menemani perjalanan. Sesekali burung endemik, seperti Panangku (Dendrocyigna arcuata) sejenis bebek telaga pemakan cacing, ikan dan udang, atau Tengko (Alcedo atthis) burung pemakan udang dan ikan. Namun yang sering melintas adalah pasangan Rangkong yang melintasi Danau setiap hari, terutama pagi atau sore. Tetapi, jangan melintasi danau Poso setelah jam 8 pagi. Saat itu gulungan ombaknya bergulung-gulung sampai menghempaskan perahu.

Melewati 3 kampung di tepi barat danau. Salah satu pemandangan yang menentramkan adalah anak-anak yang bermain di tepi danau atau warga yang memancing dari atas perahu. Mereka menunjukkan kepada kita tentang kesederhanaan dan kekayaan Danau Poso yang menjadi sumber kehidupan.

Sampai di Tindoli, singgah sejenak di tembok pembatas gelombang. Udara sejuk menemani. Jika ingin menginap di desa ini, bisa di rumah warga atau mendirikan tenda di tepi danau. Mendirikan tenda membuat kita menikmati keheningan danau sambil menyeruput kopi ditemani pisang dan ubi rebus. Bila beruntung, malam hari bisa melihat salah satu misteri Danau Poso, Lampu Danau. Sebuah benda, mungkin hewan terbang yang memancarkan cahaya terang menyilaukan mata.

Pagi hari adalah waktu terbaik memulai penjelahahan. Mulai dari air terjun Kandela. Hanya berjarak kurang lebih 400 meter dari pusat kampung disebelah timur. Hanya 7 menit berjalan kaki melalui jalan setapak selebar 4 meter, kita disambut pemandangan limpasan air dari pertemuan 2 sungai, yakni Lelo’u dan sungai Tabalimbotu yang terjun dari lereng batu di ketinggian sekitar 7 meter. Orang setempat menyebut air terjun ini sebagai Wera Toru Dago, kita mengenalnya sebagai air terjun Kandela. Masyarakat sekitar mempercayai, ketika tiba disini, segala kesombongan harus ditanggalkan. Mereka yang memakai perhiasan emas diminta menanggalkannya.

Baca Juga :  Dendangkan Perlindungan Tubuh Anak dan Remaja

Bukan hanya deru air terjun yang menenangkan, bunga-bunga liar aneka warna tumbuh bebas seakan mengelilinginya. Beberapa diantaranya menurut peneliti adalah endemik. Ini menarik juga bagi para peneliti untuk mengeksplorasinya lebih lanjut.

Menikmati tempat yang sejuk ini membuat energi yang terkuras saat perjalanan, pulih dengan cepat. Perjalanan selanjutnya akan membutuhkan energi yang cukup besar. Menuju benteng Kandela.

Ceruk di kaki benteng Kandela menyimpan banyak peninggalan leluhur orang Tindoli. Ditempat ini, banyak ditemukan sisa-sisa perhiasan yang dibawa saat upacara penguburan dimasa lalu. (foto : Dok. Institut Mosintuwu)
Ceruk di kaki benteng Kandela menyimpan banyak peninggalan leluhur orang Tindoli. Ditempat ini, banyak ditemukan sisa-sisa perhiasan yang dibawa saat upacara penguburan dimasa lalu. (foto : Dok. Institut Mosintuwu)

Jalan menanjak berbahan beton kasar dengan kemiringan 35 derajat langsung menguji stamina. Tapi jangan khawatir, kalau capek langsung saja duduk selanjoran untuk istirahat. Ini bukan jalan yang sibuk. Hanya sesekali petani berjalan kaki lewat sambil menarik kerbau dan sapi atau yang mengendarai motor membawa hasil panen. Kawasan ini memang sudah menjadi wilayah perkebunan masyarakat. Itu sebab kita melewati banyak pohon cengkeh, kakao hingga durian. Menoleh kebelakang, pemandangan menakjubkkan memanjakan mata. Sisi selatan dan barat danau Poso terhampar dibawah. Sepanjang kiri kanan jalan, kita bisa menambah energi dari manisnya buah Bo’e dan Pangkula, biji-biji manis tumbuhan Poso endemik kecil yang mengubah warna lidah menjadi ungu.

Sekitar 700 meter, kita berbelok ke kiri. Menyusuri rimbunan bambu dan pepohonan besar membawa udara segar masuk ke hidung yang dengan cepat meredakan deru napas setelah tanjakan panjang. Kurang lebih 25 menit kemudian, kita akan menemukan tebing batu raksasa yang dikelilingi jurang dalam. Inilah benteng Kandela. Sebuah bentang alam berdiameter kurang lebih 2 hektar yang menyimpan sejarah perlawanan orang Poso melawan pasukan kolonial Belanda. Dibawah benteng sejumlah ceruk menyimpan tulang belulang leluhur orang-orang Tindoli. Ini adalah pemakaman kuno, cara pemakaman orang Poso sebelum datangnya agama samawi di awal abad 18.

Duduk dilempengan lantai batu raksasa kita merasakan energi benteng itu, diselingi sayup suara air yang mengalir menjadi sungai yang mengalir menembus dibawah bukit, seperti bercerita tentang keteguhan dan kesederhanaan para pahlawan yang mempertahankannya. Tulang belulang para leluhur seakan berkata, jaga tanahmu dari siapapun yang hendak merampasnya.

Turun dari Kandela, hati terasa damai. Hamparan sawah dan danau seperti lukisan memanjakan mata sepanjang jalan pulang. Jangan langsung pulang. Sempatkanlah bercakap-cakap dengan warganya yang ramah. Sebab itulah perjalanan terbaik. Bukan hanya merasakan indahnya alam, tetapi merasakan denyut nadi kehidupan masyarakatnya.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda