Sembilan tahun terakhir, ribuan kilometer telah ditempuh Nirza (45) warga kelurahan Kayamanya, kecamatan Poso Kota. Dua kali seminggu, setiap Rabu dan Sabtu, Nirza dan suaminya Saifullah harus bangun pukul 03:00 dini hari. Pada pukul 03.30 WITA mereka sudah di mobil agar bisa tiba 30 menit sebelum masuk ruangan khusus di Rumah Sakit Umum Daerah Anuntalogo Kabupaten Parigi Moutong. Jarak kota Poso ke rumah sakit Parigi kurang lebih 133 kilometer,
Sebelum berangkat, keduanya terlebih dahulu mempersiapkan kebutuhan sekolah dua anak mereka yang masih terlelap. Saat ini anak perempuan berumur 16 tahun, anak bungsu berusia 10 tahun. Keduanya nampak telah terbiasa atau membiasakan diri ditinggalkan kedua orang tuanya. Kadang, mereka dititipkan kepada keluarga dekat.
Nirza hanya satu dari puluhan pasien lainnya. Ketiadaan fasilitas hemodialisis atau cuci darah di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Poso. Seperti Nirza, para pasien gagal ginjal lainnya dari berbagai daerah wilayah Kabupaten Poso terpaksa harus ke Kota Palu atau yang terdekat di Kabupaten Parigi Moutong . Mereka menjalani cuci darah di Unit Hemodialisis.
Bukan hanya rasa sakit saat proses cuci darah yang harus dialami setiap saat oleh pasien cuci darah seperti Nirza. Beban ekonomi, tenaga dan waktu serta kesehatan mental menjadi tantangan yang harus mereka hadapi sepanjang waktu. Biaya cuci darah memang ditanggung oleh Badan Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS). Namun itu tidak mencakup biaya transportasi , konsumsi dan akomodasi sepanjang kebutuhan cuci darah dilakukan. Mau tidak mau harus ditanggung pasien.
“Biaya ini, tiap saya mau ke sana itu, ongkos bensin itu pasti 300 ribu. Terus sampai di sana kita juga harus pakai obat, uang makan di sana, Jadi 1 minggu ini saya keluar 1 juta,” cerita Nirza
Nirza mengalami gagal ginjal akibat keracunan kehamilan. Dalam istilah medis apa yang dialaminya disebut Preeklamsia. Kondisi ini dapat menyebabkan cedera ginjal akut, dimana ginjal mengalami kerusakan tiba-tiba dan penurunan fungsi yang drastis.
Awalnya selama 4 tahun pertama, sekali seminggu, dia menjalani cuci darah di Kota Palu. Perjalanan sejauh 200 km ini ditempuh dengan berbagai hambatan seperti cuaca buruk, hingga longsor.
“Empat tahun saya di sana, di Palu. Kadang saya malam-malam pergi naik Armada (baca: Transportasi Umum), atau biasa, paitua (suami-red) antar, toh. Jadi pulangnya hari Minggu, pulang di Poso. Itu capeknya, minta ampun. Sudah sakit cuci darah, sudah capek lagi di jalan. Habis cuci darah itu orang itu capek sekali, itu badan itu semuanya serba tidak mood. Pokoknya hanya orang cuci darah yang tahu perasaan itu bagaimana,”
Sejak harus melakukan cuci darah dua kali seminggu, Nirza pindah ke RS. Parigi Moutong. Jaraknya lebih dekat namun rasa sakit dan beban biaya masih menjadi tantangan. Semangat untuk bertahan hiduplah yang membuatnya terus menjalani proses ini. Nirza mengingat kedua anaknya yang masih kecil. Dalam percakapan kami, Nirza terlihat tidak seperti orang yang sudah bertahun-tahun menjalani cuci darah dengan beragam kesulitan. Memiliki kendaraan beroda empat dan suami yang rutin mendampingi membuatnya merasa lebih beruntung dibandingkan pasien lain.
Nirza sangat sering bertemu dengan pasien cuci darah lainnya dari Kabupaten Poso. Mereka datang dari latar belakang usia dan ekonomi yang beragam. Karena sering bertemu dan berproses bersama di ruangan unit Hemodialisis, mereka kemudian saling terhubung untuk berbagi cerita bahkan saling membantu. Tidak jarang jika jadwal cuci darah sama, mereka saling berbagi kendaraan. Bagi banyak pasien, saling menumpang di kendaraan yang sama menjadi sangat berarti, sebab bisa mengurangi biaya transportasi.
Saling membantu juga berlanjut dengan saling berbagi cerita. Saat larutan dialisat sedang bekerja membasuh ulang darah selama hampir 5 jam, mereka mencoba menahan sakit dengan bercerita untuk saling menguatkan. Komunikasi antar sesama pasien gagal ginjal ini berlangsung sangat intens. Mereka saling berbagi nomor kontak informasi, meski tidak membuat grup khusus.
Berbagi informasi berlangsung diantara mereka. Termasuk saling mengabarkan jika ada yang sudah berpulang. Mereka tidak mencatatnya, tapi mengenang yang telah pergi itu sebagai teman seperjuangan menghadapi penyakit yang belum ada obatnya ini.
Dari pengalamannya berinteraksi dengan sesama pasien gagal ginjal, Nirza mengetahui mengapa banyak teman-temannya yang tidak bisa melanjutkan cuci darah. Faktor jarak, besarnya biaya dan kondisi fisik yang semakin melemah, mempengaruhi keputusan itu.
“Itu kasihan yang tidak mampu. Banyak sudah orang-orang menyerah, tidak mau cuci darah. Karena memikirkan itu, ke sana kemarinya itu, sampai di sana, mau tinggal di mana lagi?”
Dia menyebut, kemungkinan setengah dari pasien gagal ginjal dari Kabupaten Poso memenuhi ruang hemodialisa di RSUD Anuntaloko Parigi setiap minggu.
Naik Motor Menempuh Ratusan Kilometer Meski Hujan
Fitrih Arianingsih (35), warga desa Matako, Kecamatan Tojo Barat, Kabupaten Tojo Una-una bukan seorang pasien Hemodialisis. Suaminya, Abdi Ino sejak Juli 2024 harus cuci darah karena gagal ginjal. Dua kali dalam seminggu, Fitri mengantar suaminya ke RSUD Anuntaloko menggunakan sepeda motor .

Keduanya harus bangun pukul 2 dini hari sebelum menempuh perjalanan 172 km. Mereka memulai perjalanan pukul 2.30 WITA. Perjalanan menggunakan sepeda motor dilakukan tanpa berhenti istirahat agar tiba sebelum jam 7.30 WITA. Ruangan unit Hemodialisis akan dibuka sekitar jam tersebut.
“Orang-orang masih tidur nyenyak, kami sudah di jalan,” kenang Ningsih.
Bukan hal yang mudah baginya melakukan perjalanan ini. Menghadapi hujan, bocor ban di jalan, dan rasa lelah kadang membuat mereka hampir menyerah. Ningsih menyadari tubuh suaminya lemah dan membutuhkan istirahat dalam perjalanan, demikian juga dirinya. Namun mereka harus tiba tepat waktu agar proses cuci darah bisa dilakukan. Beberapa kali Ningsih mendapati suaminya tertidur di atas sepeda motor. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjatuh saat dibonceng, Ningsih pun mengikat tubuh suaminya menggunakan kain agar selalu rapat dengan dirinya.
“Ya diikat, kadang diikat karena dia sudah mengantuk, jadi saya ikat biasa di belakang pakai kain supaya tidak jatuh,”
Perjalanan ke Kota Parigi harus dilakukan pada hari yang telah ditentukan. Hari Rabu dan Sabtu, dua kali dalam seminggu. Jika tidak mengikuti jadwal cuci darah, suaminya akan merasa tidak enak pada tubuhnya disertai sesak nafas.
“kalau sudah jadwad harus cuci darah, harus pergi. Biar hujan harus pergi,”
Proses cuci darah rata-rata membutuhkan waktu empat jam. Usai menjalani cuci darah, keduanya hanya beristirahat sejenak. Ningsih dan suami melakukan perjalanan kembali ke rumah pada pukul 13 siang agar bisa tiba pukul 18:00 sebelum malam tiba.
Sekali perjalanan pulang pergi cuci darah, Ningsih menghabiskan 300 ribu rupiah. Itu sudah termasuk untuk mengisi bahan bakar, konsumsi, dan untuk membeli vitamin dan obat penambah HB darah untuk suaminya. Dalam seminggu, mereka harus menyiapkan dana khusus 600.000 untuk proses cuci darah. Kadang jika beruntung mereka menumpang di mobil pasien lainnya, termasuk mobil Nirza.
Rutinitas itu dilakukan Ningsih awal Agustus 2025. Setelah suaminya akhirnya dirawat inap selama tiga minggu, suaminya meninggal dunia pada 3 September 2025.
Tidak Ada Ruangan Tersedia untuk Hemodialisa di RSUD Poso
Nirza beberapa kali merasa tidak nyaman saat mendengar celetukan petugas medis di RSUD Anuntaloko. Mereka bertanya mengapa Kabupaten Poso sebagai wilayah yang lebih tua, hingga kini belum memiliki fasilitas hemodialisa. Padahal banyak warganya yang membutuhkan. Meskipun tidak merespon celetukan tersebut, dalam hati Ningsih berharap fasilitas unit hemodialisis bisa segera tersedia di RSUD Poso. Dia melihat masih banyak pasien gagal ginjal asal Poso yang berjuang untuk bisa mendapatkan akses hemodialisis di luar daerah Poso.
Bagi Nirza dan pasien gagal ginjal lainnya, sudah seharusnya pemerintah Kabupaten Poso serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Poso mengupayakan layanan hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Poso.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Poso, dr. Jemy Oktavia Wololy, mengungkapkan RSUD Poso menghadapi kondisi keterbatasan ruang dan lahan yang menyebabkan tidak memungkinkan penambahan fasilitas cuci darah.
“Hal-hal seperti itu yang memang akhirnya seperti sekarang digalakkan oleh pemerintah daerah untuk pengembangan atau pembangunan RSUD yang baru, tentunya dengan fasilitas untuk cuci darah, memang dalam perencanaan-perencanaan. Itu sudah direncanakan supaya tersedia di Kabupaten Poso,” jelas dr. Jemy Oktavia Wololy.
Diakuinya hingga kini penderita gagal ginjal terpaksa harus keluar daerah untuk mendapatkan perawatan cuci darah.
Secara terpisah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Poso, Ma’mur Lapido mengungkapkan, tanpa ketersediaan unit cuci darah, menyebabkan penderita gagal ginjal terpaksa berobat ke luar daerah yang membebani ekonomi penderita dan keluarganya. Bahkan ada yang memilih untuk pasrah tidak lagi melakukan cuci darah karena alasan ekonomi.
“(Unit hemodialisis) tidak tersedia di Poso, akhirnya mereka harus keluar daerah dengan mengeluarkan biaya lain akhirnya mereka kesulitan, akhirnya mereka pasrah,” kata Ma’mur.
Dalam pembahasan di DPRD, pihaknya sangat mendorong pemerintah untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan cuci darah. Tapi usulan terkendala pada persyaratan teknis yang dikaitkan dengan ketiadaan ruangan di RSUD Poso. Menurutnya, sangat penting untuk mendorong pemerintah untuk secepatnya memaksimalkan pembangunan gedung rumah sakit baru di Desa Maliwuko, Kecamatan Lage.
“Tujuan di bangun rumah sakit itu ya memang salah satunya untuk meng-cover hal-hal begitu untuk agar masyarakat mendapatkan pelayanan yang maksimal. Insyaallah kalau jadi, itu akan menjadi rumah sakit rujukan dari daerah-daerah lain. Sekarang ini kan kita ke Parigi, ke Palu atau ke Makassar. Nah kalau rumah sakit itu jadi, kita akan tidak ke sana lagi karena rumah sakit itu rumah sakit rujukan. Jadi daerah-daerah lain itu akan dirujuk ke situ seperti Morowali Utara, Touna akan ke situ arahnya,” kata Ma’mur Lapido.
Pembangunan gedung baru RSUD Poso yang terbengkalai dalam beberapa waktu terakhir, menurut Ma’mur Lapido akan segera dilanjutkan kembali pembangunannya tahun ini, menyusul suntikan dana sebesar 200 milyar rupiah.
“Nah, Alhamdulillah Kabupaten Poso itu sudah dilakukan finalisasi untuk program itu. Kabupaten Poso itu mendapat suntikan dana sebesar 200 milyar rupiah dari Kementerian PU. Itu sudah final, tinggal pelaksanaannya,”.
Menunggu usainya pembangunan gedung RSUD Poso yang baru, Ma’mur menyarankan Pemerintah Kabupaten Poso untuk berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan dan RSUD Poso untuk melakukan pendataan warga Poso yang membutuhkan cuci darah di luar daerah.
“Jadi baiknya itu pemerintah daerah seperti saya sampaikan tadi, melakukan pendataan, koordinasi dengan Dinas Kesehatan kemudian dengan Rumah Sakit untuk menginventarisir, melakukan pendataan, akhirnya setelah terdata, pemerintah disitu hadir untuk memfasilitasi mereka entah mereka melakukan proses cuci darah di Parigi atau di Palu,” kata Ma’mur Lapido.
Data Minim Pasien Cuci Darah
Hingga kini, belum ada data pasti berapa persisnya warga Kabupaten Poso yang menderita gagal ginjal. Hal ini mungkin disebabkan tidak adanya fasilitas hemodialisa di RSUD Poso.
Data kualitatif yang berasal dari keterangan sejumlah pasien seperti Nirza menunjukkan jumlahnya tidak sedikit. Setiap 2 kali sepekan menjalani pencucian darah, dia selalu bersama dengan sekitar 20 pasien lain dari berbagai desa di Kabupaten Poso.
Laporan Dinas Kesehatan Sulteng juga hanya mencatat jumlah pasien tahun 2016-2018. Laporan itu mencatat peningkatan signifikan jumlah penderitanya. Tahun 2016 jumlahnya 560 orang, 2017 sebanyak 613 orang. Tahun 2018 sebanyak 752 orang. Data menunjukkan adanya peningkatan signifikan setiap tahunnya.
Sebuah laporan lain menyebutkan, pada tahun 2022 rumah sakit Undata Kota Palu melayani 1.091 pasien cuci darah. Di Indonesia, laporan BPJS 2024 menyebutkan, jumlah yang menjalani prosedur ini sudah mencapai 134.057 orang.
Pindah Ke Palu untuk Kemudahan Layanan Cuci Darah
Tahun 2023, saat Nirza dan suaminya sedang menjalani cuci darah, anak bungsunya yang saat itu berusia 8 mengalami kecelakaan. Dia ditabrak sepeda motor saat hendak menyeberang jalan di depan rumahnya. Sejak itu, keduanya sering gelisah jika meninggalkan anak-anaknya tanpa pengawasan. Saifullah, suami Nirza yang selama bertahun-tahun menemani istrinya menjalani cuci darah mengungkapkan rencana untuk pindah domisili ke kota Palu. Selain memudahkan istrinya mengakses layanan hemodialisis, juga agar bisa bersama anak-anaknya.
“Dia sudah 10 tahun menjalani, itu fisiknya tidak seperti dulu lagi. Tidak fit lagi, perjalanan jauh. Butuh 3 jam tiba di sana dan 3 jam lagi sampai di sini.Kendala cuaca, segala macam, “ kata Saifullah.
Selama 10 tahun menjalani cuci darah di luar daerah, selalu terbersit harapan bahwa fasilitas unit hemodialisis akan bisa tersedia di RSUD Poso tapi nyatanya hingga kini harapan itu belum jelas kapan akan terwujud.*
Penulis : Yoanes Litha
Editor : Lian Gogali






