Gempa Beruntun : Warga Poso Harus Beradaptasi Dengan 3 Sesar Aktif

0
151
Bagian dalam bangunan gereja di Masani yang runtuh akibat gempa, 17 Agustus 2025. Foto : Dok.Mosintuwu/Yoanes Litha

“Di pintu, orang yang ditindis beton itu tidak tahu berapa orang. Tidak ada nenek di sini, dimana dia? Putar saya dari pintu belakang ternyata dia sudah menyelamatkan diri lari ke belakang,” (Y.Sumboli/warga Desa Masani)

Hari Minggu 17 Agustus 2025, sejak pukul 05:40 wita, Yombu Sumboli (77) bersama istrinya sudah bersiap pergi beribadah ke Gereja Jemaat Elim GKST yang tidak jauh dari rumahnya. Mereka tinggal di Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso. Sebuah desa kecil  yang berlokasi di tepi pantai Teluk Tomini.

Bersama warga desa Masani lainnya, Y Sumboli dan istrinya sedang khusuk berdoa ketika tanah tiba-tiba bergetar hebat. Doa terhenti tiba-tiba. Semua mata mendongak keatas. Balak-balak kayu penyangga atap berjatuhan. Sepersekian detik kemudian, orang-orang berlarian keluar. Y.Sumboli turut lari melewati pintu depan yang tiba-tiba sesak oleh orang yang berebutan menyelamatkan diri.

“Begitu goyang langsung menyelamatkan diri, tapi karena teman ini berdesakan, dia dorong saya, tabanting di muka gereja. Nah begitu saya bangun, pikir ah nenek ada di dalam, baru saya lihat di pintu orang yang ditindis beton itu tidak tahu berapa orang, tidak ada nenek di sini, dimana dia?. Putar saya dari pintu belakang, ternyata dia sudah menyelamatkan diri lari kebelakang,” kenangnya.

Dia tidak pernah menyangka akan merasakan guncangan kuat bermagnitudo 5,8 itu di desanya. Pria yang akrab disapa ngkai (kakek) Sumboli itu mengungkapkan dahsyatnya gempa akibat aktifnya sesar Tokararu itu merupakan guncangan bumi terkuat yang pernah dia rasakan sepanjang hidupnya di Kabupaten Poso.

Sesar Tokararu merupakan salah satu patahan naik yang terletak di Sulawesi Tengah yang memiliki panjang sekitar 80 kilometer.

Sebagai orang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Desa Masani, cerita ngkai Sumboli tentang gempa magnitudo 5,8 di hari Minggu 17 Agustus 2025 itu menunjukkan sangat jarang, setidaknya dalam 50 tahun terakhir ada gempa kuat yang begitu merusak di wilayahnya.

Padahal, sejumlah sesar aktif yang melintang di Kabupaten Poso sudah sering melepas energinya sejak jutaan tahun lampau. Namun sejumlah peneliti mengakui, sangat minim catatan tentang itu di wilayah ini.

Sepekan setelah gempa yang menyebabkan 2 orang tetangganya tewas oleh reruntuhan bangunan itu, Y Sumboli hingga kini masih terus waspada. Apalagi dampak gempa dangkal itu menyebabkan sejumlah rumah warga, termasuk beberapa bagian rumahnya terdampak.

Beradaptasi Diantara 3 Sesar Aktif

86 tahun lalu, tepatnya 22 November 1939, gempa bumi bermagnitudo 8,1 mengguncang Teluk Tomini. Pemicunya sesar Gorontalo. Menurut catatan, dalam peristiwa ini, 14 desa diterjang tsunami. Sejumlah laporan menyebutkan 17 orang di Parigi menjadi korban. Gempa ini tentu juga dirasakan dampaknya oleh warga di desa-desa di Poso Pesisir saat itu, termasuk di Masani. Namun, tidak ada catatan mengenai tsunami di wilayah ini. Namun, berkaca dari berbagai peristiwa bencana, kerusakan dan jatuhnya korban jiwa bisa diantisipasi lewat mitigasi dan penyebaran pengetahuan terus menerus kepada warga yang tinggal di wilayah rawan bencana.

Baca Juga :  Bertutur Bencana dan Merekam Peristiwa Sehari-Hari Lewat Film

Para ahli mencatat ada 3 sesar atau patahan aktif yang kini sangat aktif bergerak memicu sejumlah gempa di Kabupaten Poso.

Pertama sesar Tokararu yang memicu gempa magnitude 5,8 pada hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025 lalu. Kedua sesar Poso, penyebab gempa magnitude 5,4 pada 25 Juli 2025 di sebelah selatan Danau Poso. Satu lainnya adalah Sesar Poso Barat yang pernah mengguncang desa-desa sisi barat Danau Poso pada 24 Maret 2019 dengan magnitude 5,7.

Kepala Laboratorium Palu-Koro Universitas Tadulako, Abdullah MT mengatakan gempa 17 Agustus 2025 di Poso Pesisir dipicu aktifitas sesar Tokararu yang berhimpitan dengan sesar Malei disebelah baratnya. Sedangkan gempa di Desa Tindoli pada 25 Juli 2025 oleh sesar Poso yang berhimpitan dengan sesar Uekuli di sisi timurnya.

Banyaknya sesar aktif yang memicu gempa besar di Sulteng tidak lepas dari sejarah pembentukan pulau Sulawesi yang sangar rumit dan kompleks. Dikutip dari artikel Perkembangan Tektonik dan implikasinya Terhadap Potensi Gempa dan Tsunami di Kawasan Pulau Sulawesi, ditulis oleh Kaharudin MS, Ronald Hutagalung, dan Nurhamdan, menyebutkan, posisi pulau Sulawesi terletak pada zona pertemuan diantara 3 lempeng besar, yaitu pergerakan lempeng Hindia Australia dari selatan dengan kecepatan 7 cm/tahun, lempeng Pasifik dari timur dengan kecepatan 6 cm/tahun dan lempeng Asia bergerak pasif ke Tenggara.

Posisi yang berada di Kawasan lempeng tektonik microplate ini sangat rawan terhadap gerakan dan benturan 3 lempeng bumi, hingga sering menimbulkan aktifitas geologi, terutama gempa bumi dan tsunami. Perkembangan tektonik ini sudah berlangsung sejak zaman tersier hingga sekarang.

Karena kondisi geologi Sulawesi ini, khususnya Kabupaten Poso, Abdullah meminta masyarakat tetap mewaspadai potensi gempa dan tsunami yang bisa terjadi kapanpun, namun tidak menanggapinya secara berlebihan.

Pentingnya Mengenal Rumah dan Lingkungan Sekitar

Bagi Abdullah, pengetahuan masyarakat mengenai wilayahnya, terutama potensi bencana di sekitarnya merupakan hal penting sehingga bisa melakukan mitigasi mandiri dan tidak mudah termakan isu yang tidak benar.

Salah satu hal penting yang kini harus disadari warga adalah menyesuaikan konstruksi bangunan dengan kondisi geologi Poso yang akan sering di goncang gempa. Mengenai hal ini, leluhur sudah mewariskan contohnya. Misalnya konstruksi bangunan Tambi masyarakat lembah Bada yang menyesuaikan diri dengan sejarah gempa bumi diwilayah itu lewat rancangan bangunan yang memadukan penggunaan kayu yang kokoh ditambah ikatan rotan yang membuatnya menyatu dan tahan terhadap goncangan.

Baca Juga :  Petisi di Hari Perempuan Internasional : Hentikan Stigma pada Perempuan

Sayangnya, teknik hasil adaptasi terhadap sejarah gempa ini sudah ditinggalkan karena bahan bangunan sudah menggunakan beton untuk menggantikan kayu yang sudah semakin mahal dan langka.

Agus Tohama, pegiat budaya di lembah Bada menjelaskan mengapa bangunan tradisional seperti Lobo, Tambi dan Buho tahan terhadap gempa meski wilayah itu kerap diguncang gempa magnitude besar.

“Penggunaan rotan yang menghubungkan seluruh bangunan membuat seluruh strukturnya saling menahan ketika ada goncangan”jelasnya mengenai fungsi rotan yang melilit seluruh tiang bangunan.

Saat ini tidak ada lagi bangunan yang menirukan fungsi rotan dalam struktur bangunan baru dari beton. Paling tidak komponen strukturnya saling mengikat.

Pegiat literasi Isnaeni Muhidin yang juga anggota Forum Pengurangan Resiko Bencana Sulawesi Tengah menekankan pentingnya pengetahuan tentang kebencanaan dan mengenal tempat dimana kita tinggal. Pengetahuan itu termasuk cerita orang-orang tua seperti cerita rakyat tentang wilayah dimana kita berdiam.Dari semua itu, kita harus kembali terbiasa untuk membaca atau mendengarkan.

“Kita harus punya informasi. Bisa berupa cerita lampau dari orang-orang tua kita, atau dari media sosial media massa terpercaya tentang peristiwa yang pernah terjadi di kampung kita, gempa atau banjir atau longsor.” kata Isnaeni.

Dia mengingatkan, gempa besar bisa timbulkan tsunami di pantai atau di danau. Atau likuefaksi seperti yang pernah terjadi di Kota Palu dan Sigi pada September 2018. Pengetahuan tentang sejarah kampung, lanjut Isnaeni akan bikin kita punya kemampuan beradaptasi pada alam. Seperti misalnya sadar bahwa bangunan rumah yang kita tinggali itu tahan gempa.

“Atau kita harus mengenal sesar atau patahan gempa. Juga potensi banjir dari sungai, longsor di tebing yang curam. Jadi kita harus punya pengetahuan tentang bencana, agar kita punya pemahaman untuk mengatasinya.”lanjut Isnaeni.

Memiliki pengetahuan lokal menjadi salah satu mitigasi yang penting bagi masyarakat yang hidup di wilayah dengan potensi bencana. Seperti Nandong Smong, cerita rakyat masyarakat Simeulue Aceh yang masih bertahan sampai kini. Tradisi ini turut menyelamatkan ribuan warga disana saat tsunami 26 Desember 2004 silam.

Warga lembah Palu juga mengenal Bomba Talu atau ombak tiga susun yang sering disebarkan lewat tutura (cerita) kepada anak-anak. Meski sering disebut tidak ilmiah, cerita rakyat nyatanya adalah pesan leluhur yang lahir dari pengalaman dan peristiwa yang terjadi di masa lalu.

Baca Juga :  Randa Ntovea: Kisah Wabah di Sulteng, Covid-19 Bukan Yang Pertama

Selain cerita, pengetahuan tentang peristiwa bencana di masa lalu juga diwariskan lewat penamaan sebuah tempat (toponimi). Di Poso, nama beberapa tempat berdasarkan peristiwa masa lalu, misalnya Tobi Maombo, sebuah wilayah disebelah timur Danau Poso yang dipercayai adalah bagian daratan yang longsor kedalam danau.

Dalam sebuah diskusi di Dodoha Mosintuwu, Peneliti BRIN yang juga tim ahli Ekspedisi Poso, Herry Yogaswara menekankan perlunya menggali kembali kebudayaan dan tradisi masyarakat Poso dalam berbagai bentuk seperti Kayori, Laolita hingga permainan anak untuk menjadi pelajaran menghadapi peristiwa alam dimasa mendatang.

Melawan Sebaran Hoaks

“Katanya mau ada gempa besar nanti beberapa hari di depan”kata Martince Baleona, warga Kelurahan Bukit Bambu, Poso Kota Utara menirukan informasi yang di dengarnya dari seliweran di media sosial. Banyaknya informasi beredar di tengah warga mengenai waktu akan terjadinya peristiwa gempa bumi menunjukkan pentingnya literasi bencana di wilayah dengan aktifitas tektonik aktif seperti di Kabupaten Poso.

Padahal, hingga saat ini, belum ada ilmuwan atau teknologi apapun yang bisa memberikan informasi waktu kapan akan terjadinya gempa bumi.

Informasi seperti yang disampaikan kepada Martince juga diterima Ros (54) warga kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Puselemba. Pasca gempa 17 Agustus 2025 itu, selama lebih dari sepekan dia tidur diluar rumah.

“Banyak informasi yang bilang akan ada lagi gempa besar dalam waktu dekat ini”katanya. Dia mendapat informasi itu dari dari grup WA yang diikutinya.

Hal serupa juga di rasakan Irmawati warga desa Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir. Dia masih merasakan gempa susulan hingga Jumat malam 22 Agustus 2025. Gempa susulan yang masih terus terjadi itu menyebabkan banyak tetangganya merasa was-was.

“Apalagi dengan bahasa-bahasa yang dari media sosial, dari orang-orang, jadi ada yang disebelah jalan itu sudah mengungsi di atas gunung, jadi mereka turun pagi, kalau sudah sore begini mereka naik ke gunung,” ungkap Irma mengenai dampak informasi hoaks terhadap sejumlah warga di desanya.

Untuk meluruskan informasi tidak benar itu, Irma memeriksa kebenarannya lewat aparat pemerintah desa Tokorondo atau merujuk informasi yang disampaikan BMKG. Bagi dia, menyebarkan informasi memiliki konsekuensi bagi yang menerimanya. Karena itu berhati-hati dan melakukan pengecekan ke sejumlah pihak yang kompeten menjadi sangat penting.

Bagikan
Artikel SebelumnyaFestival Mosintuwu 2025 : Dorong Poso jadi Geopark Nasional
Pian Siruyu, jurnalis dan pegiat sosial. Aktif dalam kegiatan kemanusiaan sejak konflik Poso. Sejak 2005 aktif menulis di surat kabar lokal dan media online. Sekarang aktif menulis tentang isu ekonomi, sosial, politik di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah untuk media Mosintuwu termasuk berita di Radio Mosintuwu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda