“Saya orang cacat. Dengan membantu orang lain, saya merasa berguna bagi masyarakat lain . Terlebih lagi, saya tidak menjadi beban karena kondisi fisik saya”
Dengan nada bangga, Velma Riri, 39 tahun memulai ceritanya
“Seringkali kami ini orang cacat dianggap tidak berguna dalam masyarakat” sambungnya.
Velma mengalami kecelakaan sejak umur 18 tahun. Kecelakaan tunggal ini menyebabkan tulang kakinya bengkok sehingga membutuhkan alat peyangga ( kruk ) untuk berjalan. Meskipun setiap hari menggunakan kruk untuk membantunya berjalan paska kecelakaan di umur 18 tahun, tidak menghalangi Velma Riri untuk menempuh beberapa desa menemui korban. Tidak juga menghalanginya untuk bolak-balik kantor Polisi hingga ke ruang pengadilan untuk mengadvokasi korban. Tinggal di Lore Selatan, khususnya lembah Bada, transportasi darat adalah salah satu tantangan dalam mengorganisir atau mendampingi korban.
Sejak 2 tahun terakhir paska lulus dari kelas Sekolah Perempuan Mosintuwu, Velma memutuskan menjadi bagian tim Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak ( RPPA ) Institut Mosintuwu. Saat itu kami mendiskusikan bentuk pengabdian masyarakat sebagai tindak lanjut ilmu pengetahuan yang didapatkan. Terdapat lima tim yang dibentuk bersama oleh anggota sekolah perempuan untuk dipilih sebagai bentuk pengabdian masyarakat, yaitu tim advokasi layanan masyarakat, tim anak, tim rumah perlindungan perempuan dan anak, tim media, dan tim ekonomi solidaritas.
“ Saya juga bingung, kenapa saya sangat tertarik untuk mendampingi korban dibandingkan mengembangkan ekonomi di masyarakat. Padahal saya ini juga miskin” ungkap Velma
“ Tapi kemudian saya merasa, ini panggilan jiwa. Ini bentuk pembelaan saya terhadap rasa tidak adil yang saya sering rasakan kalau melihat banyak anak-anak diperlakukan tidak adil” lanjutnya.
Velma kemudian menceritakan bagaimana di lingkungannya, anak-anak termasuk remaja seringkali mengalami kekerasan fisik dalam keluarga , juga kekerasan seksual. Di lingkungan Lore Selatan, dimana Velma tinggal, sangat sering kasus kekerasan terutama kekerasan seksual tidak dibicarakan secara terbuka karena dianggap aib bagi keluarga. Keluarga korban memilih untuk menyelesaikan secara adat atau menutupinya.
“Kasihan anak-anak yang sering alami kekerasan. Dulu saya tidak tau apa dampaknya bagi kehidupan mereka saat dewasa, tapi saya belajar di kelas sekolah perempuan bahwa mereka bisa mengalami trauma yang sangat dalam. Lalu saya membayangkan bagaimana itu jika terjadi pada saya sewaktu kecil atau jika terjadi pada anak saya. Itu sebabnya saya ingin menyelamatkan masa depan mereka”
Mata Velma sedikit berkaca-kaca, beberapa kali berhenti berusaha menjelaskan apa maksud dan pikirannya.
“Mungkin bukan menyelamatkan mereka, tapi setidaknya membantu mereka tidak sendirian” ralatnya.
Velma mengingat kembali kasus pertama yang ditanganinya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga di lingkungan keluarganya sendiri. Adik sepupunya dipukul oleh suaminya. Awalnya mereka tidak berani melaporkan ke kantor polisi, namun setelah berkali-kali, Velma mendampingi adik sepupunya untuk visum dan melakukan BAP di kantor Polisi. Keesokan harinya, dikisahkan Velma, korban mencabut laporan dengan alasan anaknya masih kecil sehingga kuatir tidak ada yang bisa membiayai selain suaminya yang juga pelaku. Padahal menurut Velma, saat laporan itu dicabut, memar kebiruan di kening korban masih belum hilang.
“Saya yang merasa sakit hati, tapi saya hargai karena merasa itu haknya sambil tetap mendampinginya “ ujar Velma
Melihat langsung keluarganya mengalami lingkaran kekerasan dalam rumah tangga mendorong Velma untuk belajar lebih baik mengadvokasi kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan mulai melihat dampaknya bagi anak-anak. Velma mempercayai dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, korban yang lain adalah anak-anak yang mengalami kekerasan psikis.
Mendampingi Korban, Memenjarakan Pelaku
Kasus kedua yang didampingi Velma, membawanya bertemu langsung hakim , jaksa di ruang pengadilan. Kali ini kasus kekerasan seksual pada anak berumur 16 tahun.
“Saya gugup, sangat takut, tapi juga bangga”
Sambil tertawa kecil Velma menceritakan perasaannya saat itu. Velma mempercayai saya memberinya motivasi untuk berani berbicara dan menempatkan dirinya sebagai pendamping yang melindungi hak korban.
“Diantara kami 5 bersaudara, hanya saya yang pernah berhadapan langsung dengan pengadilan. Bukan hanya sebagai pengunjung tapi sebagai pendamping. Ini pengalaman pertama seumur hidup di pengadilan dan langsung menjadi pendamping. Apalagi waktu itu saya sempat pikir, wah ini memenjarakan orang ( pelaku) “
Memenjarakan pelaku, bagi Velma, bukanlah urusan gampang . Di lingkungan dimana Velma dibesarkan pengampunan bagi pelaku termasuk pelaku kekerasan sangat sering dilakukan oleh tokoh masyarakat dan tokoh agama atas nama kasih. Di lingkungan masyarakatnya, sebagian besar mempercayai bahwa ganti rugi bisa menyelesaikan masalah, serta memberikan kesempatan bagi pelaku kekerasan seksual untuk bertobat adalah perbuatan baik.
Berulangkali Velma harus mengingatkan dirinya sebagai pendamping yang mau memperjuangkan keadilan bagi korban. Tidak mudah. Apalagi Velma harus berhadapan dengan keluarga pelaku yang seringkali merupakan bagian dari lingkaran keluarganya atau keluarga yang dikenalnya. Ditambah lagi, keluarga pelaku sangat sering datang ke rumahnya untuk bernegosiasi.
“Saya didatangi pelaku, lalu keluarganya. Mereka menjanjikan uang pada saya dan korban supaya kasus dicabut. Berulangkali, sampai saya kadang merasa diteror”
Pola ini sering terjadi, namun Velma bersiteguh dengan prinsip pendampingannya. Bukan hal yang mudah untuk bersiteguh dengan keyakinan pada perlindungan korban. Cara berpikir patriaki di wilayahnya, seringkali menempatkan korban sebagai penyebab kasus kekerasan seksual bisa terjadi. Berulangkali pelaku, keluarga pelaku menemuinya untuk menempatkan cara berpikir bahwa korban juga bertanggungjawab atas kekerasan seksual yang dialaminya.
Prinsip RPPA Mosintuwu yang lebih fokus pada keadilan dan pemulihan korban dipegang oleh Velma. Dalam kasus kekerasan seksual ketiga yang didampinginya, Velma membantu korban untuk mendapatkan hak dan akses pendidikan yang nyaman di luar lingkaran wilayah pelaku. Velma melakukan negosiasi dengan pihak sekolah, bolak balik naik motor, untuk memastikan korban mendapatkan sekolah baru yang nyaman selama proses hukum.
Tidak dibayar. Velma melakukannya karena panggilannya sebagai seorang perempuan, sebagai seorang ibu. Keluarga Velma mendukung aktivitas pendampingan yang beresiko ini. Demikian juga kedua anaknya.
Saat ini Velma sedang mengikuti seri training paralegal yang diadakan oleh RPPA Institut Mosintuwu bekerjasama dengan LBH Poso sejak awal Desember 2019. Baginya, ini adalah ruang untuk semakin berguna bagi masyarakat. Training paralegal, termasuk training pendampingan psikologi anak dirasakan sebagai kebutuhan baru yang melengkapi dirinya sebagai seorang pendamping korban.
“ Korban seringkali tidak diperlakukan sebagai manusia. Kita berjuang memastikan semua orang diperlakukan sebagai manusia, dan korban dilihat sebagai manusia” pungkasnya.