Padungku, Akhir yang Menyejahterakan Kehidupan

0
106
Saling berkunjung dan makan bersama sepanjang hari di saat Padungku. Foto : Rick

Di Sulawesi Tengah, musim-musim masih terkait dengan rasa syukur.
Pesta Padungku adalah akhir dan awal yang bersamaan – istirahat setelah bekerja,
meja yang terbuka bagi siapa saja yang datang.
Tahun ini aku berada di sana, bersama teman-temanku dari Mosintuwu,
di mana rekonsiliasi berbentuk hidangan bersama.
Hal itu mengingatkanku bahwa perdamaian pun harus dipanen –
dan bahwa apa yang kita sebut akhir masih dapat memberi kehidupan.

Aku berada di Tentena, di tepi Danau Poso.
Jalan ramai.
Meja-meja ditarik ke pintu. Uap nasi. Asap kayu.
Orang-orang berpindah dari rumah ke rumah. Semua orang – hampir semua orang – bebas.

Mereka menyebutnya Padungku. Pesta panen.
Setiap rumah menyiapkan makanan untuk keluarga, untuk teman, untuk siapa pun yang datang.

Mangkoni Mangkeni: makanlah, bawalah lebih banyak makanan.

Sebelum Kristen, panen harus selesai sebelum Padungku.
Sekarang bisa dilakukan setelahnya.

Rasa syukur tetap ada.
Dungku berarti “akhir.” Akhir dari pekerjaan, istirahat.
Lebih tua dari gereja-gereja di sini. Seusia dengan pertanian.

Baca Juga :  Padungku, Karena Semua Sudah Selesai

Dulu ada lagu yang dinyanyikan oleh perempuan kepada padi sebelum dimasukkan ke lumbung:

Terima kasih, anakku.
Kamu boleh istirahat sekarang.
Dapatkan kedamaian.
Terima kasih telah memberi kami kehidupan.

Dan Dungku juga merupakan tanda bagi makhluk hidup lainnya — burung, tikus, ayam —
pergilah ke ladang dan ambil apa yang tersisa. Tidak ada yang disimpan hingga butir terakhir.

Di Malitu, mereka masih meminta izin untuk menanam dan lagi untuk panen.
Di tempat lain, pesta lebih condong ke arah kebersamaan: meja di depan, piring siap.
Bulan berganti sesuai panen — Juli, Agustus, Oktober; di sini adalah padi.
Mereka bisa memilih Mei, panen lainnya. Tahun ini mereka tidak. Jalanan kini penuh.

Saya di sini beberapa hari bersama Lian Gogali dan orang-orang Mosintuwu.
Pekerjaan mereka pun dimulai di mana sesuatu berakhir — keheningan setelah konflik,
kelaparan setelah ketakutan. Mereka mengajarkan bahwa rekonsiliasi bukanlah melupakan,
tetapi memberi makan apa yang masih hidup.

Padungku, akhir yang memberi kehidupan:
lagu-lagu lama, meja-meja terbuka, orang asing yang menjadi keluarga.
Roh kembali, bukan ke ladang,
tetapi ke ruang di antara manusia.

Baca Juga :  Megilu , Menuntut Perlindungan Budaya dan Alam Poso

Seseorang menekan makanan ke tangan saya.
Biji-bijian terus memberi, bahkan setelah dipotong.
Kekayaan bukanlah apa yang kita simpan.
Itu adalah apa yang kita berani bagikan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda