Lambori, Si Pandan Hutan Endemik Sulawesi

1
5534
Pandan hutan , tumbuhan endemik Sulawesi. Orang Poso menyebutnya Lambori. Pandan hutan digunakan sebaga bahan anyaman pembuatan tikar, topi, dan wadah penyimpanan. Foto : Dok.Mosintuwu/Marno

Biasanya akar pohon ada di dalam tanah. Tapi tidak dengan Pandan hutan Sulawesi. Akarnya bisa mencapai 6 meter dari permukaan tanah. Orang Poso menyebutnya Lambori. Lambori sangat dekat dengan kehidupan orang Poso sejak dahulu kala. Dijadikan alas tidur, dibuat menjadi wadah penyimpanan, hingga topi pelindung, bahkan bahan makanan .  

Penelitian Etnobotani nilai guna Pandan yang dilakukan Nurfadila dkk (2019) pada suku Moma di ngata Toro, Kulawi, kabupaten Sigi menemukan, warga setempat memanfaatkan batang Pandan jenis ini untuk dinding dan pagar rumah, sedangkan umbut (tunas) menjadi bahan makanan.

Saat ini di wilayah pedalaman Poso, masih mudah menemukan pohon-pohon ini. Menurut Iring dkk (2019) Pandanus Sarasinorum dapat hidup dengan kondisi lingkungan yang lembab dengan pH yang tidak terlalu asam serta intensitas cahaya matahari yang cukup seperti kondisi lingkungan yang berada di hutan pegunungan Sulawesi. Jumlah dari individu Pandan hutan ini menunjukkan tingkat toleransinya dengan lingkungan sekitarnya. Semakin banyak ditemukan dalam satu kawasan menandakan semakin tinggi pula tingkat toleransi Lambori terhadap lingkungan sekitarnya begitu pula sebaliknya.

Di Kabupaten Poso, Lambori digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari bahan untuk membuat tikar, bingkalora (wadah semacam mangkuk atau loyang), dan toru (caping). Namun untuk tikar sekarang sudah semakin jarang ditemukan, karena mulai digantikan tikar plastik yang dirasa lebih praktis. 

Baca Juga :  Busung Lapar Sejarah di Poso

Tentu bukan hanya sebagai barang biasa. Penggunaan tikar Pandan dan Bingkalora memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Poso. Dalam upacara-upacara adat, Bingka dan tikar pandan punya posisi istimewa. Bingka akan menjadi wadah barang-barang penting dan tikar menjadi alas duduknya. Keduanya memiliki nilai penting sehingga belum tergantikan oleh produksi pabrik seperti tikar plastik, permadani dan loyang.

Di beberapa desa, banyak juga warga yang masih memiliki kedekatan dengan kerajinan berbahan Lambori. Pada workshop usaha yang dilaksanakan Institut Mosintuwu bulan Juli 2016, sejumlah perempuan dari desa Dulumai dan Peura, membawa bingkalora. Di kedua desa ini, Lambori masih cukup banyak ditemukan. 

Belakangan, Pandan hutan ini, oleh warga juga mulai dikembangkan menjadi produk kreatif lain seperti tas dan dompet. Else, seorang pengrajin Lambori mengatakan, pembuatan dompet dan tas berbahan Lambori menjadi salah satu upayanya menjaga ingatan orang agar tidak melupakan Pandan ini. Sekaligus menjaga budaya Poso tetap terjaga.

Maestro Budaya Poso, Yustinus Hokey, dalam sebuah diskusi di Dodoha Mosintuwu mengungkapkan, tradisi Poso memiliki kaitan erat dengan Bingkalora. Dia mengungkapkan kekhawatirannya akan hilangnya tradisi Poso bila tidak ada lagi produksi Bingkalora. Itu artinya, orang Poso memiliki kewajiban menjaga agar tanaman yang masuk dalam bagian kerajaan Plantae ini tetap ada.

Baca Juga :  Membincang Taman Bumi Danau Poso, Mungkinkah?

Menghasilkan tikar atau Bingkalora yang indah, tidak semudah yang kita bayangkan. Dibutuhkan ketelitian dan kesabaran untuk menyusunnya. Selain itu, perubahan ditengah masyarakat yang berlangsung saat ini cenderung mengutamakan kepraktisan. Segala hal praktis lebih diutamakan ketimbang nilai tradisi. Hal ini juga membuat para pengrajin Lambori mengalami kesulitan memasarkan produk mereka.

Lambori dan Keluarga Pandan 

Pandan hutan merupakan bagian dari keluarga Pandan yang memiliki nama Latin Pandanus sarasinorum. Sarasinorum diambil dari nama dua naturalis sekaligus etnolog berkebangsaan Swiss, Fritz Sarasin dan Paul Sarasin yang juga melakukan eksplorasi serta mengumpulkan beberapa jenis pandan yang ada di Sulawesi Tengah pada akhir abad 18 hingga awal abad 19. Jenis ini adalah endemik Sulawesi. 

Di Indonesia, terdapat sekitar 700 jenis Pandan. Satu diantaranya adalah Pandanus Sarasinorum ini. Tumbuhan ini bisa kita temukan di banyak tempat di kabupaten Poso. Buat yang sering jalan-jalan ke lembah Bada atau lembah Napu, akan sering melihatnya dipinggir jalan, bersanding dengan tumbuhan endemik lainnya seperti rotan. Bagi pejalan yang datang ke Poso namun belum sempat ke lembah Bada atau Napu. Jangan khawatir. Ada wilayah paling dekat  untuk bisa menemukan Pandan unik ini. Di wilayah wisata Padamarari yang indah di desa Taipa hingga ke desa Bancea, kita juga akan menemukan tumbuhan ini dengan mudah.

Baca Juga :  Sekolah Perempuan Interfaith, Angkatan IIInterfaith Women School, 2nd batch

Lambori mudah dikenali dengan perawakan yang sangat berbeda dengan tumbuhan lainnya. Selain daun Pandan yang memang sudah akrab dengan orang Indonesia, juga karena memiliki akar penopang diatas permukaan tanah yang tingginya bisa mencapai 6 meter. Pohon Pandan Sarasinorum juga bisa mencapai tinggi hingga 20 meter. Ciri lainnya, Pandan Sarasinorum memiliki daun tunggal berwarna hijau kekuningan yang merupakan ciri khas keluarga Pandanaceae. Tumbuh dengan baik dan pada umumnya berkelompok pada hutan hujan tropika dataran rendah hingga tinggi dengan kisaran ketinggian 500-1500 mdpl. 

Menjaga habitat Lambori bukan hanya soal kebutuhan sehari-hari warga dan nilai ekonomis, tetapi juga ekosistem hutan. Sebagai tumbuhan endemik, kehadiran lambori di tengah hutan Sulawesi memperkaya keanekaragaman hayati . 

Bagikan
Artikel SebelumnyaPoso Abai Status Transmisi Lokal Covid19
Artikel SelanjutnyaAlbum 3 Pandemi : Musik Merespon Pandemi di Indonesia
Kurniawan Bandjolu, Peneliti di Institut Mosintuwu. Salah satu peneliti muda dalam tim Ekspedisi Poso, beberapa kali menjadi asisten peneliti untuk tumbuhan endemik di Kabupaten Poso, aktif menulis jurnal biologi, dan menulis tentang 94 jenis tumbuhan yang digunakan oleh warga Pamona untuk rempah dan obat-obatan.

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda