Mengapa Nelayan Toponyilo Danau Poso adalah Profesi Orang Merdeka

0
1601
Toponyilo, nelayan yang mengambil ikan dengan cara monyilo mengibarkan bendera merah putih di perahu-perahu kecil mereka yang mengeliling kapal keruk PT.Poso Energy yang mereka duduki sejak Selasa 11 Agustus 2020 karena melakukan aktivitas yang mengganggu nelayan mencari nafkah. Foto : Dok.Lani

“Kami To Ponyilo barangkali orang paling merdeka. Kami atur sendiri kapan kami turun mencari ikan. Dan kami ambil hanya ikan yang sudah layak diambil” (Yusuf Manarang/To Ponyilo)

Sudah 9 hari para To Ponyilo (nelayan yang menombak ikan dimalam hari memakai lampu) menduduki kapal keruk yang akan mengeruk dasar hulu sungai Poso, wilayah mereka mencari ikan. Siang dan malam mereka, 13 kepala keluarga tinggal di kapal itu. Mereka memasang tenda dan tidur disana. Perusahaan pemilik kapal itu pasti rugi. Tapi nelayan akan kehilangan sumber pencahariannya apabila pengerukan itu dilanjutkan. Itu sebabnya mengapa mereka memperjuangkan wilayah seluas kurang lebih 50 hektar itu. Hidup para nelayan ini ada di wilayah itu.

Para To Ponyilo di danau Poso bukanlah kelompok orang yang mau membebani pemerintah. Itu sebab banyak diantaranya yang tidak protes ketika nama keluarga mereka tidak masuk dalam daftar penerima program untuk keluarga pra sejahtera seperti PKH, atau penerima bantuan raskin. Dengan penjualan ikan yang didapat pada malam hari, mereka membiayai hidup sehari-hari. Menyekolahkan anak. Meskipun banyak pula yang belum mampu membangun rumah sendiri.

Yusuf Manarang (50) sudah lebih dari 20 tahun mencari ikan di mulut danau Poso. Dia bahkan membangun pondok untuk beristirahat dipinggir sungai. Di tempat itu dia dan keluarganya, termasuk nelayan lain kerap berkumpul malam hari. Membincangkan hasil tangkapan, harga ikan atau Sidat, juga kondisi cuaca. Tidak jaring berbagi informasi wilayah yang bagus untuk mendapatkan ikan.

“Kami nelayan ini barangkali orang paling merdeka. Kami atur sendiri kapan kami mau turun mencari ikan. Dan kami ambil hanya ikan yang sudah layak diambil”kata Yusuf mengenai pilihan dia menjadi nelayan dan tidak ingin beganti pekerjaan lain. Dari hasil menangkap ikan, dia mampu menyekolahkan 4 anaknya. 

Banyak orang tidak mengetahui mengapa nelayan seperti Yusuf Manarang, Wilson Wutabisu, Jemi, Marten, Yanis Moento dan lainnya memilih menjadi nelayan. Mengapa mereka bertahan sebagai To Ponyilo yang harus bergelut melawan dinginnya angin dan air danau di malam hari. Tidak banting setir menjadi pegawai, petani atau pedagang atau pekerjaan lain. 

Para nelayan bercerita bahwa aktivitas monyilo sudah diwariskan oleh orang tua mereka sejak dulu. Ayah Yusuf misalnya, merasa sangat bangga bahwa profesi sebagai Toponyilo diwarisi oleh Yusuf.  Padahal, Monyilo bukanlah aktivitas menangkap ikan yang mudah. Untuk monyilo, nelayan hanya dibantu oleh cahaya lampu secukupnya. Selama beberapa jam, bermodalkan tombak ( sarompo , tombak bermata 3 ) dan perahu kecil mereka akan menyusuri wilayah perairan mulut Danau Poso  sambil mata melihat ke dalam air mencari ikan . Saat ikan terlihat berenang di dasar, perahu akan mengejar dan nelayan akan menombaknya. Untuk ini, dibutuhkan keahlian khusus membaca gerakan ikan, mengukur cuaca, arus air dan angin 

Baca Juga :  Gua Pamona , Dilindungi UU Cagar Budaya
Nelayan Toponyilo mencari ikan di malam hari di Danau Poso. Biasanya akan mulai mencari ikan sejak pukul 9 malam hingga subuh hari bermodalkan lampu dan tombak . Foto : Dok. Penjaga Danau Poso

Bagi Yusuf, menjadi nelayan adalah pilihan. Keterampilan dia memang menjadi nelayan. Nelayan itu bagi dia adalah orang yang yang mandiri mengatur hidupnya. Tidak bergantung bantuan. Hasil penjualan ikan diatur untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, biaya sekolah, biaya kesehatan serta membangun rumah.

“Kami juga tidak berharap menjadi masyararakat kaya tapi juga tidak miskin. Menengah” begitu Yusuf menggambarkan posisi dia sebagai nelayan.

Jemi, nelayan lainnya menceritakan hal yang sama. Dia menceritakan bagaimana mendapatkan penghasilan. Dan itu yang membuat dia memilih menjadi nelayan. Dalam sebulan, nelayan hanya efektif bekerja selama 15 hari, yakni saat bulan gelap. Selama 15 hari itu, dalam  satu malam, dia bisa mendapat ikan seberat 11 kilogram. Jika yang didapat ikan Mas, harganya 85 ribu rupiah per kilogram. Itu artinya dalam semalam dia bisa mendapatkan Rp 935,000. Mungkin tidak setiap malam dia bisa mendapat hingga  ikan Mas, Mujair atau Sidat sebanyak itu. Paling sedikit 5 kilogram, yang jika dikali dengan harga Rp 85,000, maka mereka bisa mendapatkan Rp 425,000.

Apa yang digambarkan Jemi hampir sama dengan yang disampaikan Yusuf dan Yanis. Mereka punya pengalaman mendapatkan hasil yang sangat besar, pernah mendapatkan penghasilan sampai 4 juta dalam semalam. Namun tentu itu tidak selalu terjadi. Akan tetapi bisa menggambarkan mengapa mereka tidak begitu tertarik mengganti pekerjaannya dengan profesi lain. 

“Kami tidak bisa jadi dokter atau pegawai. Tapi bangga sebagai nelayan. sebagai nelayan kami bisa hidup tanpa bantuan-bantuan pemerintah lewat kartu-kartu itu”kata Yusuf. Menjadi nelayan membuat mereka bisa mengatur kapan harus bekerja, kapan istirahat, kapan harus bersosialisasi tanpa harus dikejar waktu atau target yang biasa dibebankan kepada orang yang bekerja di kantor-kantor.

Baca Juga :  Festival Mosintuwu, Ikhtiar Memuliakan Alam & Kebudayaan untuk Kehidupan Kini dan Kelak

Karena hidup bergantung dari danau, para nelayan merasa bertanggungjawab menjaga kelestariannya. Itu sebab, ketika Monyilo atau Mompana (Memanah) Yusuf, papa Devi dan nelayan lain memilih target yang sudah layak ditangkap. Mereka tidak akan menangkap ikan yang masih kecil. Keinginan menjaga kelestarian lingkungan itu membuat mereka tidak setuju dengan rencana reklamasi Kompodongi serta praktek penggunaan setrum listrik atau jaring bermata kecil.

Kini kemerdekaan para nelayan itu terancam. Proyek pengerukan dasar mulut danau Poso itu untuk jangka pendek membuat mereka harus berhenti dulu mencari ikan. Dalam jangka panjang, perubahan alam akibat pengerukan itu, menurut para nelayan tidak lagi menjadi tempat yang ramah untuk mencari ikan. Sebab aktifitas pengerukan membuat dasar sungai keruh. Para To Ponyilo ini mengandalkan mata untuk mengejar ikan. Jika air keruh, tentu ikan buruan tidak terlihat. Bahkan gemuruh suara mesin sudah membuat ikan-ikan menghilang entah kemana.

Area seluas kurang lebih 50 hektar yang menjadi tempat mereka mencari ikan ikan berbentuk menyempit dari arah selatan, terus menyempit hingga ke sungai.  Di area dengan lebar kurang lebih 60 sampai 100 meter itu merupakan tempat mencari ikan yang ideal, karena menjadi jalur lalu lintas ikan dari sungai kearah danau dan sebaliknya.

“Saya berani jamin. Setelah area di mulut danau ini dikeruk begitu. Sudah tidak akan bisa pulih lagi. Saya sangat yakin itu”kata Yusuf berulang-ulang menyuarakan kekhawatirannya. Kekhawatiran atas aktifitas pengerukan itu juga disampaikan para peneliti. yang juga mengkhawatirkan aktifitas proyek itu akan mengubah kondisi danau Poso. Salah satunya adalah perubahan fungsi Kompodongi. 

Nelayan Toponyilo melakukan aksi di atas Danau Poso dengan mengibarkan bendera merah putih sebagai simbol perjuangan kemerdekaan dan rasa keadilan nelayan . Nelayan Toponyilo menduduki kapal keruk PT Poso Energy yang dianggap mengganggu aktivitas nelayan . Foto : Dok. Lani

Wilson Wutabisu, nelayan lain mempertanyakan keberpihakan negara ditengah masalah yang mereka hadapi. Sebagai warga negara, dia tidak berharap lebih. Dia hanya meminta pemerintah memperhatikan rakyat seperti dirinya dengan adil. Menjamin agar tempat mereka mencari nafkah tidak terganggu.

“Kami hanya meminta pemerintah memperhatikan rakyatnya yang selama ini tidak diperhatikan. Seperti yang tercantum di sila kelima. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Cuma itu yang kita minta. Keadilan”. Permintaan itu disampaikan Wilson dengan harapan yang tidak muluk. Wilayah sumber mata pencaharian mereka dilindungi dari kemungkinan pengrusakan oleh siapapun. Selama ini mereka sudah berusaha menjaganya.

Meminta keadilan, bukan hanya supaya mereka bisa tetap mencari ikan ikan di danau Poso. Yusuf Manarang mengatakan. Dengan mendapat keadilan mereka tetap menjadi orang yang mandiri. Dari menjual ikan, mereka tidak membebani pemerintah.

Baca Juga :  MoU Kuatkan Kajian, Penelitian dan Penyebaran Nilai-nilai Perdamaian di Tana Poso

“Pemerintah sudah banyak punya hutang diluar sana. Kami ini mau jadi mandiri supaya tidak menambah hutang pemerintah itu yang dibikin karena harus memberi bantuan kepada masyarakat” kata Yusuf. Dia sering menonton di televisi menteri keuangan membahas tentang hutang luar negeri Indonesia yang tahun ini sudah mencapai 5.603 triliun (kurs Rp 14.000).

Dalam diskusi daring bertema ‘Danau Poso, Danau Purba Jantungnya Wallace, Strategi Pengelolaan dan Konservasi di Era Kenormalan Baru’ yang diadakan Masyarakat Iktiologi Indonesia (MII) pada 6 Juni 2020 lalu.  Salah seorang pembicara, Dr. Lukman, dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, mengatakan, pengerukan outlet danau hingga ke sungai Poso dikhawatirkan akan menyebabkan penyurutan luas wilayah litoral yang kaya hewan akuatik, plankton, dan berbagai hewan lainnya. Wilayah-wilayah yang terancam hilang itu berfungsi sebagai sumber makanan ikan di danau Poso.

Sejak Selasa, 11 Agustus 2020, 13 keluarga nelayan Toponyilo  menduduki kapal keruk PT.Poso Energy karena aktivitas kapal keruk mengganggu aktivitas nelayan. Sejak kapal keruk PT Poso Energy beroperasi di mulut Danau Poso, selama dua pekan  nelayan tidak bisa mencari ikan. Hal ini dikarenakan lampu kapal keruk terlalu terang dan menghalau ikan. Aktivitas pengerukan juga telah menyebabkan dasar danau yang dikeruk menjadi keruh sehingga sulit untuk bisa melihat ikan. Aktivitas pengerukan oleh PT Poso Energy dilakukan di outlet sungai Danau Poso sepanjang 12,8 km untuk kepentingan memutar turbin PLTA Sulewana. 

Sebelumnya tanggal 12 Agustus 2020, diceritakan oleh nelayan PT. Poso Energy melakukan pertemuan dengan nelayan Toponyilo dan Toporono di kantor PT. Poso Energy. Dalam pertemuan tersebut, PT. Poso Energy menawarkan harga Rp.50.000 per keluarga selama masa kapal keruk bekerja. Perusahaan juga menawarkan akan memberikan lapangan pekerjaan perusahaan kepada nelayan gaji per bulan per bulan ditambah tunjangan. Tawaran tersebut ditolak oleh nelayan . 

Yusuf menjelaskan “ kami tidak mau menjadi anak buah dari perusahaan yang jelas-jelas sudah merusak wilayah Danau Poso yang selama ini menghidupi dan membuat kami menjadi nelayan yang merdeka” 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda