Menolak Kesulitan DPR: Mengapa Poso Mendesak RUU PKS di Prolegnas 2020

0
1236
Menolak Kesulitan DPR: Mengapa Poso Mendesak RUU PKS di Prolegnas 2020
Aksi menolak kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh perempuan dan anak dari desa-desa di kabupaten Poso.(foto : dok. Mosintuwu)

Data Dinas P3A Kabupaten Poso tahun 2019 menunjukkan setidaknya ada 83 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data tersebut bertambah hingga Februari 2020 tercatat tambahan 4 kasus perkosaan serta 2 kasus pelecehan seksual yang semua korbannya adalah anak anak.

Dalam banyak kasus,  KUHP, UU No 23 tahun 2004 tentang  PKDRT, dan UU no 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak belum cukup untuk melindungi korban. Masih banyak sekali korban yang tidak mendapat keadilan, bahkan ada juga pelaku yang masih bebas. Contohnya, tahun 2015, seorang ibu di kecamatan Pamona Timur melaporkan pemerkosaan terhadap anaknya yang baru berusia 9 bulan. Namun kasus ini sulit dituntaskan oleh kepolisian dengan alasan korban belum bisa bicara meskipun sudah ada 9 orang termasuk 2 orang yang diduga sebagai pelaku yang diperiksa yang merupakan kerabat korban masing-masing berinisial YP (18) dan AP (13). Namun dengan alasan tidak cukup bukti akhirnya kedua orang tersebut dilepas.

Hal-hal semacam ini membuat masyarakat membuat solusi yang membahayakan dan merugikan korban. Misalnya pelaku dan korban dinikahkan. Menikahkan korban dengan pelaku sama dengan meminta korban dengan orang yang dibencinya. Hal ini akan menimbulkan rasa trauma mendalam yang semakin memperburuk penderitaan korban. Bahkan banyak juga yang menikahkan korban dengan pelaku secara Nikah Siri. Selain dampak traumatis, perempuan rentan menerima kekerasan lebih lanjut, kesulitan mengurus akte buat anak, hingga terjadinya perceraian. 

Baca Juga :  Mencari Air : Seperti Padang Pasir di Bukit Bambu

Sulitnya memperoleh keadilan dan ketidakberpihakan solusi masyarakat pada korban, membuat banyak korban dan keluarganya memilih tidak melapor. Belum lekang dalam ingatan, pada tahun 2018, sebanyak 11 anak usia 6-12 tahun diperkosa oleh seorang oknum pengasuh di sebuah pesantren di kabupaten Poso. Sempat ada keengganan keluarga korban untuk melaporkan perkara ini karena takut intimidasi, apalagi sebagian besar korban tinggal bersama dengan pelaku  di pesantren.  

Oleh sebab itu, Institut Mosintuwu dan sebagian besar masyarakat Poso menuntut DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan  Seksual (RUU P-KS). RUU P-KS merupakan upaya hukum untuk memberikan pemulihan dan melindungi korban kekerasan. Selain itu, RUU ini juga untuk memastikan agar korban tidak mendapatkan kekerasan berulang karena stigma dan sistem hukum yang tidak berpihak pada korban.

RUU P-KS untuk Perlindungan Korban

RUU P-KS menjadi ruang yang memungkinkan dilindunginya korban kekerasan seksual. Dalam RUU P-KS dijelaskan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan yang didapatkan, digunakan dan dinikmati korban. Hak ini bertujuan untuk mengubah kondisi korban menjadi lebih baik, bermartabat dan sejahtera. Di RUU P-KS negara dituntut menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak korban berupa penetapan kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk penanganan, perlindungan dan pemulihan korban dan keluarga yang terintegrasi dalam pengelolaan internal lembaga negara terkait. Negara juga berkewajiban untuk mengalokasikan biaya pemenuhan hak-hak korban dalam anggaran pendapatan dan belanja nasional dan daerah. Selain itu, Negara juga berkewajiban menguatkan peran dan tanggung jawab keluarga, komunitas, masyarakat dan korporasi dalam penyelenggaraan pemenuhan hak-hak korban.

Baca Juga :  Molimbu, Makan Bersama yang Menguatkan Solidaritas Poso

RUU P-KS mencantumkan adanya pendampingan psikis, hukum, ekonomi dan sosial. Setiap korban berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, mendapatkan dokumen penanganan, pendampingan dan bantuan hukum, penguatan psikologis, pelayanan kesehatan (pemeriksaan, tindakan dan perawatan medis) serta hak mendapatkan layanan dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan khusus korban. Bahkan pada Pasal 24 mengatur penyelenggaraan visum et repertum, surat keterangan pemeriksaan psikologis dan surat keterangan psikiater; juga pemantauan secara berkala terhadap kondisi korban. 

Di RUU P-KS korban berhak mendapatkan perlindungan dalam berbagai ruang lingkup, termasuk oleh penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Apalagi jika korban mendapatkan ancaman atau intimidasi dari pelaku. Perlindungan termasuk didalamnya kerahasiaan identitas korban. Selanjutnya, RUU P-KS melindungi korban dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang seringkali merendahkan dan menguatkan stigma terhadap korban. Sikap merendahkan ini seringkali dialami korban saat melakukan pelaporan.

Selain hak atas penanganan dan perlindungan, RUU P-KS juga mengatur hak korban atas pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya serta restitusi. Pemulihan dilakukan sebelum, selama dan setelah proses peradilan. 

Baca Juga :  10 Tahun Mosintuwu : Membangun Gerakan tanpa Amplop dan Uang Duduk

Mensahkan RUU P-KS adalah gambaran wajah negara yang mau berpihak pada korban. Jika memasukkan dalam Prolegnas 2020 saja dianggap sulit, negara bukan hanya memalingkan wajah dari korban tetapi juga memperpanjang penderitaan korban-korban kekerasan seksual. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda