Petani Poso, Terjepit Diantara Corona dan Kelompok Bersenjata

1
5520
Petani kakao di Poso Pesisir menjemur kakao hasil panen di kebun.Foto : Mosintuwu/Ray

“Memang susah. Ke kebun takut, tidak aman. kami resah dengan keadaan ini. Kebun itu kan sumber makan. Keluar rumah juga sekarang terbatas, kumpul-kumpul dilarang karena Corona. Keadaan ini makin susah”(Neni, warga desa Kilo)

Tiga kasus kekerasan beruntun terjadi di kecamatan Poso Pesisir Utara sepanjang bulan April 2020 ini. Pada 8 April, seorang petani bernama daeng Tapo diculik dari pondok di kebunnya di kaki gunung dusun Sipatuo desa Kilo. Korban kemudian ditemukan meninggal dunia. Lewat video, Ali Kalora, pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia Timur atau MIT kemudian mengumumkan bertanggungjawab atas pembunuhan itu.  Sehari kemudian, seorang pemuda bernama Qidam, meninggal dunia karena ditembak aparat keamanan. Qidam ditembak di sebuah kebun di belakang kantor Polsek, desa Tobe kecamatan Poso Pesisir Utara, Kamis 9 April 2020. Peristiwa ini berujung protes keluarga korban yang menuntut dilakukan pengusutan secara terbuka dan transparan.

Pembunuhan masih terjadi pada hari Minggu 19 April 2020 lalu. Seorang petani lainnya yang akrab disapa Daeng Ajeng diculik dari pondoknya di kebun. Oleh warga disebut wilayah perkebunan ini sering disebut kilo 9, sebuah wilayah pegunungan yang secara administratif masuk desa Kawende, kecamatan Poso Pesisir Utara. Sore sekitar pukul 16:00 wita, warga menemukannya sudah meninggal di dekat pondoknya. Polisi menyebut pelakunya lagi-lagi adalah kelompok MIT. Saat warga hendak mencari korban, mereka sempat ditembaki anggota kelompok bersenjata itu.

Kebun, menjadi ruang pekerjaan yang masih memungkinkan warga bertahan hidup menghadapi pandemi Covid-19. Bekerja di kebun masih memungkinkan warga mengikuti protokol kesehatan selama masa pandemi, tapi juga mendapatkan hasil kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tiga kasus beruntun, dua yang dilakukan kelompok Ali Kalora, satu oleh aparat keamanan ini membuat warga di desa-desa terutama di kecamatan Pesisir Utara kini makin resah.  Warga ketakutan memanen hasil kebun yang jauh dari perkampungan. Padahal, bulan ini adalah awal musim panen kakao. Hasil kebun masih menjadi sumber pendapatan utama petani di desa-desa yang membentang dari desa Tobe di perbatasan dengan kabupaten Parigi Moutong hingga desa Kilo.  Dari rentetan peristiwa ini mungkin mereka yang hanya menggarap sawah saja yang sedikit ‘aman’ karena tidak harus ke kebun yang masuk ke wilayah hutan seperti warga lain. Sayangnya jumlah yang memiliki sawah lebih sedikit dibanding petani lain yang harus pergi jauh dari rumah.

Baca Juga :  Poso Abai Status Transmisi Lokal Covid19

Para petani berpikir ulang untuk pergi memanen kakao di kebun yang berada di kaki gunung biru hingga gunung Padopi yang membentang di sepanjang wilayah Poso Pesisir Utara. Jaraknya agak jauh dari kampung.  Pemerintah desa sendiri  meminta warga untuk tidak ke kebun sementara waktu demi alasan keamanan. 

Ketika kakao tidak dipanen, sumber makan terputus. Para petani di Kilo dan desa di sekitarnya, masih mengandalkan kakao sebagai penghasilan utama, meskipun tanaman itu sudah diserang penyakit sejak beberapa tahun terakhir. Seorang petani yang kebunnya tidak jauh dari lokasi salah seorang korban itu mengatakan, mereka harus sering membersihkan pohon dan rumput agar buah kakao bisa dipetik. Jika kebun kotor, akan lebih banyak buah yang busuk. Pilihan antara mengatasi serangan hama jika tinggal dirumah atau ancaman keselamatan bila sering ke kebun di kaki gunung menjadi pilihan yang sulit ditengah pandemi Corona. 

Seorang petani yang kami tanyakan mengenai kondisi saat ini mengatakan situasinya benar-benar sulit. Mereka terpaksa memilih mengurangi aktifitas di kebun, terutama di wilayah Padopi, sekitar 10 kilometer di sebelah barat desa. Para pemilik kebun di kawasan ini membuat jadual untuk pergi bersama-sama. Jika jumlahnya lebih dari 10 orang, mereka akan pergi dan pulang bersama-sama. Itupun jika aparat keamanan sudah memberikan persetujuan. Tiga kasus pembunuhan terakhir membuat semuanya tidak ada yang berani.  Bahkan untuk pergi bersama-sama tidak berani lagi.

“Memang susah. Ke kebun takut, kami resah dengan keadaan ini. Kebun itu kan sumber makan. Keluar rumah juga sekarang terbatas, kumpul-kumpul dilarang karena Corona. Keadaan ini makin susah” kata Neni, petani warga desa Kilo. 

Dirinya membicarakan situasi ini dengan  tetangga kebunnya. Menyusun cara bagaimana agar buah bisa dipetik. Diputuskan untuk pergi bersama-sama dengan jumlah lebih dari 10 orang. Mereka menyampaikannya kepada otoritas desa, tapi ternyata keadaan dianggap belum aman.  Tidak adanya jaminan keselamatan itu membuat mereka harus menunggu hingga wilayah kebunnya dianggap lumayan aman. Namun tanaman tentu tidak menunggu mereka datang. Sebagian besar buah kakao diperkirakan membusuk di pohon yang artinya sumber pendapatan petani menguap.

Baca Juga :  Tiga Presiden di Poso

Kawasan perkebunan di gunung Padopi, membentang dari desa Kilo kearah desa Kawende sampai desa Kalora menjadi salah satu sumber utama kakao kecamatan ini. Data statistik Poso Pesisir Utara Dalam Angka tahun 2018 menunjukkan produksi kakao kecamatan Poso Pesisir Utara sebanyak 3,625 ton. Lebih baik dibanding panen tahun 2017 lalu, yang sebesar 3,079 ton. Namun selain subur, kawasan yang jauh dari pemukiman ini juga menjadi tidak aman karena disebut sebagai wilayah yang sering disinggahi kawanan Ali Kalora dkk.

Seorang petani yang memiliki tanaman kakao seluas 5 hektar di desa Kilo menceritakan sejak 2 tahun terakhir tidak lagi berani lagi pergi ke kebun sendirian. Untuk membersihkan kebunnya itu dia menyewa 10 sampai 15 orang dengan sistem gaji harian untuk bekerja dari pagi sampai pukul 3 sore. Demikian juga untuk panen, dia dibantu 5 sampai 10 orang dengan upah harian. Hasil panen yang didapatkan tidak seberapa bila dihitung pengeluaran untuk membayar upah pekerja. Hasil panen yang biasanya mencapai 2 ton, setelah hama menyerang kini sudah untung bila mencapai 200 kg kakao kering.

Seorang petani menghitung, hasil panen mereka dari seribu pohon kakao hanya menghasilkan kurang lebih 3 juta rupiah per bulan bila hasil panennya mencapai 100 kg kakao kering, dengan harga 30 ribu per kilogram. Jauh lebih sedikit karena tidak semua kebun kakao miliknya bisa dipanen. Bila dikurangi biaya pestisida dan pupuk, paling bersih dia mendapatkan setengahnya saja dari hasil penjualan. Dengan hasil seperti itu dia butuh tambahan penghasilan lain. Biasanya dengan bekerja sebagai buruh di proyek pemerintah. Namun wabah Corona membuat banyak proyek sekarang ditunda.

Beralih pekerjaan, yang dilakukan sejumlah petani di Poso Pesisir bersaudara (kecamatan Poso Pesisir, Poso Pesisir Selatan, Poso Pesisir Utara) dari petani menjadi buruh atau bekerja diluar kabupaten Poso sudah berlangsung sejak wilayah-wilayah tempat mereka berkebun tidak aman. Sebagian besar beralih kerja menjadi buruh di perusahaan perkebunan di kabupaten Morowali Utara, Lalundu di kabupaten Sigi bahkan di Kalimantan. Sebagian yang masih tinggal di desa menjadi buruh tani di kebun orang lain yang dekat kampung atau di sawah. Sebagian kemudian menjadi pengumpul atau pemecah batu di sungai desa Maranda.

Sementara itu, petani di Dusun Sipatuo dan Sipatokong, Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir Utara, menolak dikawal aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, saat pergi ke kebun. Penolakan itu karena takut nantinya mereka dianggap sebagai Banpol oleh kelompok pimpinan Ali Kalora yang sampai sekarang masih menguasai hutan wilayah pegunungan Padopi tempat mereka berkebun.

Baca Juga :  Covid-19 dan Kearifan Budaya Lokal

Sebelum pembunuhan dua orang petani itu, mereka sudah mengungsi ke kebun untuk menghindarkan diri dari virus ini sekaligus melakukan social distancing. Namun setelah peristiwa pembunuhan itu kini semua meninggalkan pondok di kebun dan kembali ke kampung untuk menyelamatkan diri. Saking traumanya, warga meminta agar nama mereka tidak disebutkan di media. Apalagi beredar isu bahwa masih ada diantara petani itu yang dicari oleh Ali Kalora dan kelompoknya.

Pembunuhan terhadap petani di kabupaten Poso oleh kelompok MIT terjadi sejak tahun 2014 lalu. Pada 19 September 2014, seorang petani di desa Padalembara kecamatan Poso Pesisir Selatan bernama Fadli dibunuh didepan rumahnya oleh kelompok MIT yang waktu itu masih dipimpin Santoso. Selanjutnya pada tanggal tanggal 24 Desember 2014 3 orang warga desa Sedoa kecamatan Lore Utara dibunuh oleh kelompok ini saat sedang berburu dihutan. Selang beberapa pekan kemudian, 15 Januari 2015, 3 orang warga desa Tangkura kecamatan Poso Pesisir Selatan juga dibunuh oleh kelompok ini.

Suara agar aparat segera menuntaskan operasi Tinombala dan menangkap para pelaku kekerasan juga disampaikan para tokoh setempat. Mereka mengatakan sudah jenuh karena sudah lebih dari 10 tahun sejak operasi digelar, tapi kasus kekerasan terhadap warga masih terus terjadi. Hingga saat ini Operasi yang dilakukan untuk mengejar kelompok bersenjata pimpinan Ali Kalora memang terus diperpanjang namun belum juga mampu menumpas kelompok yang berafiliasi dengan ISIS ini.

Jika petani susah karena tidak berani ke kebun. Mereka yang punya usaha seperti Neni, mengatakan, kini harus menutup kios barang campuran miliknya lebih cepat. Sebab, sejak pukul 18:30 wita, suasana kampung sudah sunyi. Akibatnya omzet penjualan menurun, keuntungan kios ini menjadi tumpuannya setelah kebun tidak bisa dipanen teratur akibat situasi keamanan yang tidak menentu. Orang takut keluar rumah karena merasa tidak aman atau virus Corona.


Catatan redaksi :

Tambahan informasi pada 4 paragraf terakhir , berdasarkan perkembangan terakhir warga per 30 April 2020.

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda