Masalah Air di Sumber Air Poso

0
1875
Dua orang ibu saling berbagi tempat penampung air. Meskipun jarak antara Bukit Bambu dan ibukota Kabupaten Poso hanya 1 km, kedua ibu dan seluruh warga Bukit Bambu selama bertahun-tahun menimba air di sumur yang kecil. Foto : Mosintuwu/Ray

“Sudah mengalir tadi malam. Ini yang pertama kali mengalir di bulan tiga ini”, kata Yanis, warga kelurahan Pamona, sedikit lega.

Bukan baru kali ini warga Poso menghadapi kesulitan air bersih. Persoalannya sudah lama dan tidak kunjung selesai. Yanis hanyalah satu dari sekian orang warga di kecamatan Pamona Puselemba yang merasakan sulitnya mendapat layanan air bersih. Di kota Poso, pusat pemerintahan kabupaten sama saja. Selain air di keran tidak selalu mengalir, ketika air sungai Poso keruh, keruh juga air yang diterima warga di rumah. Di kelurahan Sayo, Poso Kota Selatan, air PDAM kadang jalan hanya 4 hari dalam sepekan. Tapi itu masih untung, tidak sampai 1 kilometer disebelah rimur Sayo, ada kelurahan Bukit Bambu yang  sampai sekarang harus antre di mata air sejak pukul 03:00 dinihari untuk mendapat 2 atau 3 jerigen air bersih.

“Mencuci pakaian itu harus mulai pagi-pagi sekali. Paling cepat selesai itu siang, jadi banyak waktu memang habis karena harus baku bagi air dengan yang lain”kata Martince, ketua RW kelurahan Bukit Bambu mengenai betapa sulitnya mencuci di kampungnya itu. Bagi yang punya kendaraan seperti mobil biasanya pergi ke rumah keluarga di dekat kuala Poso untuk mencuci.

Yang menarik, sungai Poso memiliki debit sekitar 2.500 m3 per detik melintasi setengah desa di kecamatan Lage, membelah kelurahan padat penduduk di Poso Kota Selatan dan Poso Kota. Namun, jangan dikira layanan air PDAM  sudah membaik, meskipun pemerintah daerah sudah menyuntikkan modal 18 miliar sejak tahun 2010 hingga 2018 lalu. Suntikan modal itu dengan harapan agar pelayanan kepada sekitar 15 ribu warga kota Poso bersaudara yang jadi pelanggannya semakin baik, plus bisa menyumbang pendapatan bagi daerah. Bagaimana kondisinya sekarang? Sejak 10 tahun lalu ditambahkan modal, hingga kini keluhan pelanggan tidak berkurang.

Baca Juga :  Luring dan Daring di Poso, Bersekolah Masa Pandemi

Di kecamatan Pamona Puselemba, sumber airnya lebih besar lagi. Selain danau Poso ada pula sungai Poso. Namun entah mengapa layanannya sangat menyedihkan. Coba tanyakan kepada pelanggan PDAM di wilayah Kajuawu dan Palapa di kelurahan Pamona atau bahkan di tengah kelurahan Pamona sendiri. Di Palapa, lokasi pemukiman eks pengungsi Poso, tahun 2018 lalu sudah terpasang meteran PDAM. Setelah 2 tahun, kadang kala saja air mengalir. Warga justru lebih sering menampung air dengan tong pada saat hujan atau membeli air dari mobil tangki.

“Sudah mengalir tadi malam. Ini yang pertama kali mengalir di bulan tiga ini”kata Yanis seorang pelanggan PDAM Tentena. Rumah Yanis yang posisinya agak tinggi di kelurahan Pamona mungkin membuat air PDAM yang lemah tidak bisa naik. Namun hal sama dialami juga oleh yang rumahnya di posisi lebih rendah, kadang dalam sepekan air tidak mengalir. Padahal rumah-rumah ini hanya berjarak beberapa puluh meter dari sungai Poso yang mengalirkan 2.500 m3 air per detik.

Selain kualitas air yang keruh. Keluhan paling banyak adalah, jarangnya air mengalir kerumah. Alasan PDAM juga sama. Jaringan pipa bermasalah karena sudah tua. Tidak bagusnya layanan PDAM Poso terkonfirmasi lewat predikat ‘Tidak Sehat” yang diberikan oleh BPK berdasarkan audit tahun 2019 lalu. 

Persoalan air di kabupaten Poso tentu bukan semata hanya tanggungjawab PDAM atau pengelola irigasi. Tapi pada keinginan memperbaiki keadaan oleh para elit yang masih kurang terutama membenahi kebutuhan air untuk warga dan petani.

Baca Juga :  Ranta, Sisa Peradaban Lembah Bada yang Hampir Hilang

Bukan hanya untuk kebutuhan sehari-hari saja warga kesulitan air. Petani sawah di pinggir danau Poso, sumber air terbesar di Sulawesi Tengah juga mengalaminya. Sawah-sawah di kelurahan Pamona, Buyumpondoli, Soe, Mayakeli hingga Tonusu tidak semuanya mendapatkan pasokan air dari irigasi. Banyak diantaranya menanti air danau sedikit naik baru kemudian mengolahnya. Ini karena sawah-sawah ini tidak mendapat pasokan air dari irigasi. Sebagai contoh bisa dilihat pada banyak sawah di pinggir danau desa Pamona hingga Buyumpondoli. Selain itu disebelah selatan desa Dulumai terdapat sekitar 2 hektar sawah yang mulai diolah ketika air danau mulai naik, bibit ditanam saat air danau mulai turun.

Di musim kemarau tahun 2019, beberapa petani sawah di desa Buyumpondoli mengatakan hanya bisa menanam padi satu kali saja. Selebihnya menanam palawija, sementara yang tidak punya cukup modal akhirnya membiarkan tanah sawah tidak terolah sampai musim tanam berikutnya. Padahal sebagian besar sawah sudah dilayani jaringan irigasi. Dalam buku kecamatan Pamona Puselemba Dalam Angka tahun 2017 disebutkan ada 1.036 hektar luas lahan  padi sawah yang menggunakan sumber air irigasi dan 394 sawah non irigasi, totalnya 1.340 hektar sawah diwilayah ini. Sebagian besar persawahan di kecamatan Pamona Puselemba ada di kelurahan Pamona, desa Buyumpondoli, desa Soe dan Mayakeli serta desa Tonusu.

Sekali waktu, papa Farel, seorang petani sawah bercerita sulitnya mendapatkan air untuk sawahnya yang tidak jauh dari danau. Tengah malam dia dan beberapa petani yang berdekatan harus ronda agar tidak ada petani lain yang memindahkan jatah air untuk sawah mereka yang juga kekurangan air.

Baca Juga :  Di Antara Aku dan Engkau, Ada Kita : Kisah Kami dari Poso

“Intinya ini air kurang sekali. Mata air di bagian atas sudah tidak seperti dulu, sudah kecil sekali, tidak cukup lagi untuk semua sawah disini”katanya. Sementara itu tidak lebih dari 200 meter dari sawah mereka membentang danau Poso.

Jika langkanya air untuk kebutuhan rumah tangga dan sawah sudah klasik di Poso. Kini persoalan itu bisa menjadi lebih serius dengan datangnya wabah Corona atau Covid 19. Penyakit yang belum ada obatnya ini hanya bisa dicegah dengan menjaga jarak dan menjaga kebersihan. Menjaga kebersihan membutuhkan air bersih. Artinya kebutuhan air bersih jadi bertambah, mulai dari kebutuhan mencuci tangan sesering mungkin hingga menyediakan tempat cuci tangan didepan rumah.

Datangnya wabah ini, meski sampai hari Sabtu 28 Maret belum ada warga Poso yang terkonfirmasi positif, membuat  semua orang bersiaga. Berjaga-jaga agar tidak tertular. Berbagai ahli kesehatan sepakat, belum ada penawar penyakit ini kecuali perilaku hidup bersih, menjaga jarak. Kuncinya adalah air. Jadi, bisa dibayangkan kesulitan 322 warga Bukit Bambu menyediakan air pencuci tangan didepan rumah dan didalam rumah. 

Padahal, air benar-benar diperlukan untuk menghilangkan percikan atau droplet yang berasal dari bersin, batuk atau ludah orang yang mengenai tubuh. Demikian juga dengan 1.313 kepala keluarga di kelurahan Pamona yang harus menyiapkan air cuci tangan sebagai bagian dari upaya mencegah Covid 19 . Ini baru dua kelurahan. Masih banyak tempat lain yang juga kesulitan air. Sayangnya ini terjadi di wilayah kabupaten yang punya sumber mata air dari gunung , sungai dan danau. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda