LAULITA, Antara Mitos dan Logos

0
3392
Anak muda dan kelompok Perempuan dalam kunjungan ke Wayamasapi, mendengarkan cerita tentang asal mula dan filosofi Wayamasapi . Foto : Dok. Mosintuwu

Jika kata Ajar adalah lema atau kata kunci yang menerangkan tentang apa itu sains, maka cerita rakyat yang beragam-ragam bentuknya di banyak kebudayaan itu adalah bekal pertama yang memberi jalan bagi apa yang kita kenal sekarang sebagai ilmu pengetahuan.

Singkatnya, cerita rakyat (folklore) adalah sains, adalah metode atau cara pendahulu di masa lalu menjelaskan gejala atau fenomena tentang semesta dan hubungannya dengan mahluk hidup, peristiwa demi peristiwa yang membentuknya, dan perjalanan peradaban umat manusia yang menafsirnya.

Pada kebudayaan yang tidak memiliki aksara sebagai sistem tanda untuk mewakili pikiran dan semangat zaman, cerita rakyat lahir sebagai konsensus, tidak tertulis, dan dimufakati penuturnya dalam kurun waktu yang tiada batas ujungnya meski bisa dicermati pangkalnya sebagai penanda. Sering kali pada soal yang terakhir ini, cerita rakyat menemukan legitimasinya dari peristiwa alam dan kehidupan tetumbuhan atau vegetasi dan binatang (fabel). Manusia menjadi subjek yang menghadirkan, melahirkan dua hal itu sebagai objek.

Belakangan perihal cerita rakyat ini kemudian memiliki rumah yang kita sebut sebagai sastra. Cerita-cerita rakyat dilegitimasi dalam tidak saja tuturan tetapi juga tulisan. Tidak hanya cerita yang berpanjang-panjang seperti prosa atau novela, tetapi juga sekaligus syair-syair yang melatari permenungan (kontemplasi) dan nyanyian.

Dalam tulisan ini saya ingin membicarakan Laulita, cerita rakyat yang lahir dan tumbuh di kebudayaan Pamona, di jantung pulau Sulawesi. Cerita-cerita yang berpusar dari sebuah danau purba yang terbentuk secara tektonik. Cerita-cerita rakyat di dataran atau pegunungan yang mengelilinginya.

Baca Juga :  Burung–Burung di Danau Poso : Menjaga Ekosistem, Mengenalkan Kita dengan Arogo

Albert Christiaan Kruyt telah mencatatkan cerita-cerita rakyat Pamona dalam Wawo nTana (1916). Karya berharga itu menjadi bahan ajar masa itu yang tentu saja memberi jalan awal bagi upaya literasi dalam kebudayaan Pamona. Cerita-cerita dalam Wawo nTana  yang ditulis dalam bahasa Pamona itu mengisahkan banyak hal dari apa yang saya sebut di awal sebagai relasi manusia, alam, dan mahluk hidup lainnya dalam suatu ekosistem yang kompleks. Laulita dalam kebudayaan Pamona adalah sains yang menyederhanakan kompleksitas relasi itu dalam perumpamaan atau metafora, ciri utama cerita rakyat.

Sebagian besar kisah dalam Laulita berpusat pada penamaan bebatuan dan lebih khusus lagi kepada ilmu kebumian atau geologi. Batu (Watu) dan gua atau liang besar menjadi identik dalam Laulita selain kisah tetumbuhan dan hewan. Sebut saja Watu Rumongi, Watu mPoga’a, Watu Dilana, Watu Yano, Watu mPangasa, Watu Pue Goti, Watu Nggongi, adalah beberapa di antara dari kisah yang mengobjektivasi batu sebagai pusat narasi, selain gua tempat makam macam Kandela, Walewe, Tangkaboba, Latea, Tamungku Dena, atau yang paling terkenal, gua Pamona di Tentena. Kisah-kisah kepahlawanan melatari Laulita tentang gua-gua pemakaman itu.

Beberapa batu di bukit yang tertancap di halaman Gereja Jemaat Bethel Pamona di Tentena dipercaya bernama Watu mPoga’a. Tafsir bagi kisah tujuh batu di penamaan kisah ini adalah migrasi awal manusia dan karenanya mengidentifikasi hal yang lain yakni arkeologi. Watu mPoga’a dan kisah dari penamaan bebatuan lainnya menegaskan satu hal. Usia lingkungan yang membentuk Danau Poso dan peradaban manusia Pamona.

Baca Juga :  Mengembangkan dan Menjaga Laboratorium Alam Danau Poso dalam Kerjasama Mosintuwu dan Fapetkan UNTAD

Kisah cinta pria transenden, Lasaeo, dipercaya menjadi muasal manusia Pamona dari laulita tentang hubungannya dengan seorang perempuan, Rumongi, yang dimetafora dalam patung batu dan dinamai Watu Rumongi.

Kisah cinta berlanjut dalam laulita yang lain untuk memberi tafsir bagi peristiwa alam. Laulita paling memukau untuk topik ini adalah Uduna (bermakna ujung dan sesosok perempuan) dan Longkea di kisah laulita Padamarari, padang gundul yang membentuk tanjung (Tando) di barat danau. Cinta yang membinasakan, katastrofe dalam terminologi bencana. Kisah serupa juga ditemukan dalam kisah tsunami di danau dan kucing dalam laulita Watu Dilana dan kisah Tando Bancea, pemukiman awal Bancea yang runtuh ke danau. Laulita mengisahkannya sebagai laku manusia, sedang sains mengarahkannya dalam kemungkinan peristiwa gempabumi dahsyat. Dua sesar pemicu gempabumi mengapit danau, di barat danau dan di timur yang memanjang ke utara sampai ke Teluk Poso.

Sebuah lokasi kecil di pesisir danau, berada di Desa Toinasa, mengidentifikasi kisah lainnya. Warga menyebutnya Lindugi yang secara lokal berarti gempabumi. Kisah ini serupa mitos duel anjing Sawerigading dengan seekor belut yang mengguncang bumi di kebudayaan Kaili yang mencakup Palu, Sigi, dan Donggala. Belut dalam kisah itu adalah tafsir bagi sesar atau patahan (fault). Dalam kisah gua Suo mBuko, tafsirnya bisa jadi serupa. Gua itu dipercaya menghubungkan danau melalui gua, terowongannya, hingga ke Tambarana di pesisir Teluk Tomini. Keterangan yang bisa menjelaskan fakta sains bahwa ada Sesar Tokararu yang berada tidak jauh dari situ.

Baca Juga :  Gusdurian, Menggerakkan Masyarakat Menguatkan Indonesia

Dalam konteks vegetasi, laulita dalam kebudayaan Pamona hadir dalam kisah Tamungku (bukit) mBalugai atau Walugai, tanaman merambat yang tumbuh di sekitar situs Watu Rumongi. Beberapa kampung di pesisir danau dinamai dari tumbuhan. Bo’e, Taipa, Tora’u (Jan Pieter Rantung, 2018), untuk menyebut beberapa di antaranya yang berasosiasi dengan nama tumbuhan.

Laulita adalah sains dalam kebudayaan Pamona. Kisah-kisah di dalamnya, sebagaimana cerita rakyat yang mendasarkan narasi pada moral cerita, disadari atau tidak, telah mengajarkan kita ilmu pengetahuan yang bercabang-cabang oleh kekhususannya itu. Membaca laulita, kita sebenarnya diajak tidak sekadar bermitos, tetapi juga bercakap -sekaligus cakap dengan banyak logos.

————

Tulisan ini merupakan bagian dari refleksi perjalanan Tim Ekspedisi Poso, dimana Neni Muhidin menjadi salah satu tim ahli yang secara khusus fokus pada cerita rakyat di Kabupaten Poso dan mitigasi bencana ( Redaksi )

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda