Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Danau Poso

0
2483
Salah satu pagar masapi, teknologi budaya untuk menangkap ikan endemik Danau Poso, Masapi. Foto : Dok. Mosintuwu

“Kami tidak menolak pembangunan”

Kristian Bontinge, ketua Adat Pamona mengatakan dengan nada tegas, dan melanjutkan

“Yang kami tolak adalah rencana pembangunan yang akan menghilangkan kebudayaan danau Poso, dan hancurnya habitat dimana ikan-ikan sumber kehidupan masyarakat hidup dan berkembang biak”

Rencana pengerukan daerah aliran sungai atau DAS di ujung danau Poso yang mengalir ke sungai Poso menimbulkan kegelisahan di tengah sebagian masyarakat pinggiran danau, penyebabnya adalah kekhawatiran akan rusaknya ekosistem danau dan hilangnya kebudayaan masyarakat pinggiran danau Poso. Kegelisahan itu disampaikan Aliansi Penjaga Danau Poso atau APDP dalam diskusi bersama tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dipimpin DR. Nur Sangadji DEA di Dodoha Mosintuwu, pada 21 April 2019.

Hajai Ancura, anggota APDP dalam diskusi mencemaskan rusaknya kawasan Kompodongi, sebuah kawasan rawa seluas kurang lebih 12 hektar yang menurut rencana pemerintah akan direklamasi untuk dijadikan taman konservasi dengan dilengkapi Jogging Track dan beberapa sarana lainnya.

Selain menjadi tempat berkembang biaknya ikan, Kompodongi juga merupakan rumah bagi beberapa spesies burung. Jika kawasan ini dirubah, dikhawatirkan populasi ikan di danau Poso seperti ikan mas, mujair danau termasuk sidat juga akan berkurang.

Bukan hanya penghuni danau yang terancam hilang, para nelayan yang menggantungkan hidupnya dari aliran sungai dimulut danau Poso ini juga akan kehilangan pekerjaan. Apalagi rencana pengerukan yang dilakukan tidaklah untuk kepentingan  lingkungan, melainkan untuk kepentingan perusahaan listrik milik keluarga Wapres Jusuf Kalla itu akan menambah kedalaman aliran air kurang lebih 4 meter di sepanjang jalur pencarian ikan nelayan-nelayan di kelurahan Pamona, Sangele, Tentena, Petirodongi.

Baca Juga :  Ganti Untung yang Tetap Merugikan

Proyek pengerukan ini diberi nama Poso River Improvement atau Penataan sungai Poso.  PT Poso Energy menyebutkan pendangkalan sungai disebut-sebut sebagai alasan mengapa pengerukan harus dilakukan.  Mengapa harus ada pengerukan dan betonisasi sepanjang aliran sungai ini? Dalam wawancara dengan antaranews.com, pada 11 April 2016, manager PT Poso Energy, Mustakim mengatakan pihaknya membutuhkan bendungan untuk menetralisasi ketersediaan air untuk menggerakkan turbin di proyek PLTA Poso I,II dan III.

“Sehingga nantinya air akan selalu stabil. Kalau debit air berkurang, maka air di bendungan itu kita lepas,” katanya. (https://sulteng.antaranews.com/berita/24854/plta-poso-i-targerkan-beroperasi-2018)

Diskusi bersama Tim KLHS untuk RPJMD Kabupaten Poso bersama dengan Aliansi Penjaga Danau Poso

Dikatakan Hajai, penambahan kedalaman air membuat tradisi Monyilo, mencari ikan atau sidat dengan menggunakan tombak pada malam hari akan hilang. Sebab dikedalaman 4 hingga  6 meter tombak nelayan akan kesulitan menemui sasaran. Demikian juga bangunan Waya Masapi atau Pagar Sogili, teknologi menangkap Masapi atau sidat khas danau Poso yang didirikan ditengah sungai. Dengan penambahan kedalaman hingga 4 meter akan sulit bagi nelayan mencari tonggak untuk mendirikannya kembali.

Kehilangan sumber ekonomi dan tradisi bukanlah masalah satu-satunya yang dikhawatirkan oleh Hajai Ancura. Masih ada ancaman lain. Kristian Bontinge, anggota APDP lainnya juga mengkhawatirkan hal lain yang jarang diperhatikan orang. Kebocoran pada batu atau lapisan di permukaan aliran danau Poso. Pengalamannya sebagai nelayan sejak kecil membuat pak Bontinge mengetahui bahwa dibawah danau Poso dan mulut sungainya itu banyak ditemui gua-gua bawah air.

Baca Juga :  Kebun Bersama : Gerakan Kembali Berkebun, Belajar dari Sejarah Wabah Poso

Pak Bontinge, khawatir, jika pengerukan dilakukan bisa menyebabkan terjadinya kebocoran pada batu-batu yang membentuk goa-goa dibawah air. Sebelumnya sejumlah geolog dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) mengatakan, batu-batu yang ada di sekitar danau Poso adalah jenis Gamping. Pernyataan sama juga disampaikan Abang Surya Nugraha, kepala program studi Geologi Universitas Pertamina.

Jika kita berpikir bahwa pengerukan membuat alam dan sumber ekonomi manusia disekitar danau terganggu tentu benar. Namun lebih daripada itu, salah seorang tokoh adat kelurahan Sangele, kecamatan Pamona Puselemba mengungkapkan akan hilangnya kebudayaan orang Pamona akibat kekayaan alamnya diserahkan kepada perusahaan.

Di tempat lain, Lian Padele, seorang teolog yang juga ketua STT GKST menjelaskan bahwa membicarakan lingkungan memiliki nilai spiritualitas. Nilai spiritualitas tersebut membentuk kebudayaan manusia untuk berinteraksi dengan mahluk hidup lainnya di sekitarnya. Dalam wawancara di Radio Mosintuwu,  Lian Padele mengatakan :

“Air tidaklah sendirian sebagai air. Dia mengandung berbagai elemen-elemen ilmiah tapi juga seluruh kehidupan yang ada didalamnya. Jadi air tidak sendirian. Air bersama-sama dengan seluruh komunitas di dalam air itu sekecil apapun yang mungkin belum sempat diteliti secara ilmiah, jenis-jenis apa mahluk yang ada didalamnya. Saya kira bukan hanya sekedar Masapi yang sangat terkenal sebagai simbol kota Tentena, ada banyak sekali mahluk yang butuh kehidupan didalamnya. Jadi semesta yang ada didalamnya itu berhubungan juga dengan manusia. Kalau air ini rusak, kehidupan manusia akan rusak, dan alam akan rusak. Dengan dasar pikiran seperti itu, ketika ada unsur keras yang lain yang datang menyentuh kehidupan semesta dalam air itu dan itu asing bagi mereka, itu membuat mereka akan panik. Kepanikan seluruh semesta yang hidup di dalam danau itu pun manusia akan panik dengan keadaan yang baru itu. Keadaan ini kemungkinan akan menimbulkan stres, tekanan secara psikologis baik yang ada didalam air itu maupun manusia”

Baca Juga :  10 Tahun Mosintuwu : Membangun Gerakan tanpa Amplop dan Uang Duduk

Nur Sangadji yang mendengarkan pemaparan dari anggota APDP kemudian menceritakan bagaimana negara yang sudah sangat maju seperti Jepang dan Perancis masih berupaya mempertahankan mati-matian tradisi dan kebudayaan mereka disamping terus membangun negeri. 

“Ce n’est pas seulement le blee qoui pousse de la terre en arable,, c’est une civilisation de tout entiere. Kira kira begini maknanya, bukan sekedar gandum tumbuh di sebidang tanah yg subur, tapi yang tumbuh adalah sebuah sistem kebudayaan yang lengkap” demikian Nur Sangadji menutup diskusi , disambut seruan Ohaiyo Pakaroso dari Aliansi Penjaga Danau Poso.

Tim KHLS datang berdiaskusi dengan APDP di Dodoha untuk mendapatkan masukan terkait rencana pemerintah kabupaten menyusun revisi dokumen RPJMD kabupaten Poso tahun 2016-2021. Revisi ini salah satunya untuk mengakomodir beberapa program pemerintah seperti di bidang pariwisata dan ekonomi serta lingkungan. Salah satunya terkait rencana pengerukan mulut sungai Poso di ujung Danau Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda