Turun Gunung Berlebaran di Poso

0
1465
Berkumpul bersama keluarga dari berbagai agama, saat lebaran di Poso. Foto : Dok. O.Kawonseng

Hari masih sangat pagi untuk bangun awal di hari libur, apalagi bagi warga Kristen yang tidak punya kewajiban untuk sholat Ied di hari Idulfitri. Tapi Yeni dan Doni sudah punya rencana. Jauh hari sebelumnya, mereka sudah saling berjanji bersama anak muda lainnya naik motor bersama-sama dari Tentena ke Poso. Jarak Tentena ke Poso Kota 55 km, biasanya ditempuh 1,5 jam naik mobil dan 1 jam menggunakan motor. Bukan hanya Yeni dan Doni, puluhan keluarga lainnya melakukan hal yang sama. Jalan dari arah Tentena ke Poso ramai dari biasanya. 

“Selesai teman-teman Sholat Ied, kami sudah tiba di Poso” Yeni menjelaskan niat mereka hari itu, bersilaturahmi.

Yeni dan ratusan warga lainnya dari Tentena datang khusus ke Poso di hari pertama Lebaran untuk bersilaturahmi dengan warga muslim selepas sholat Ied.  Ini tidak jauh berbeda dengan warga Kelurahan Bukit Bambu, yang berjarak 2 km dari kota Poso. Pukul 10.00 pagi, suasana desa sudah lengang. Semua sudah berjalan ke kota, berkunjung ke rumah-rumah keluarga dan kenalan mereka yang muslim.  99,9 % warga Bukit Bambu adalah Kristen. 

Martince bercerita, kedua anaknya sejak jam 7 pagi sudah berjalan kaki menuju Kelurahan Lawanga. Bahkan tetangganya sempat memintanya untuk membantunya mengangkat jemuran jika hujan karena akan jalan ke rumah-rumah tetangga muslim.

“Mungkin hanya lansia dan yang masih bayi saja yang tidak keluar dari kampung hari ini. Saya sendiri flu berat tapi saya tidak mau ketinggalan momen berharga ini. Saya sudah bayangkan ruginya saya kalau tidak pigi silaturahmi” cerita Martince

Baca Juga :  Jelajah budaya Rumah Kita, Merekatkan Keberagaman di Pinedapa

Lalu lanjutnya, 

“Jadi, pas tetangga saya minta angkat jemuran karena pikirnya saya tidak keluar, saya langsung bertekad jalan berkunjung juga. Flu tidak bisa mengalahkan niat silaturahmi saya” 

Berbagi cerita saat kumpul bersama keluarga di hari lebaran memperkuat ikatan persaudaraan lintas agama di Poso. Foto : Dok. Nyong

Turun gunung, begitu istilah yang diberikan anak-anak muda pada silaturahmi. Istilah ini bukan hanya karena wilayah Tentena di pegunungan tetapi juga karena selama ini kesibukan pekerjaan di wilayah yang berjarak membuat hubungan kekeluargaan lintas agama ini sering tidak mendapatkan ruang bertemu. Bukan hanya warga Tentena, dan Bukit Bambu yang mayoritas beragama Kristen yang memenuhi rumah-rumah muslim di hari pertama lebaran. Konflik kekerasan yang pernah terjadi di Kabupaten Poso memisahkan keluarga-keluarga. Sangat jarang mendapatkan keluarga di Poso yang tidak memiliki beragam agama. Terbiasa hidup beragam agama dalam satu keluarga itupula yang menyebabkan keluarga-keluarga di Poso selalu saling merindukan saat hari raya tiba. Seperti reuni keluarga  yang mengingatkan terus menerus persaudaraan mereka yang berbeda agama ini agar tidak dilupakan.

Deni, seorang gembala Pantekosta hari itu berkendaraan 4 jam dari Morowali untuk bisa berkunjung ke rumah kakak sepupunya yang muslim di Sayo, Poso Kota Utara. Hal ini dialami oleh keluarga lainnya dari berbagai daerah di kabupaten Poso. 

“Selain makan-makan, yang paling penting adalah kenal satu sama lain supaya baku ingat saudara kita ada di sini, dan di sana. Sepupu, keponakan, adik, tante, nenek , dan lainnya kita harus tau dan diingatkan terus menerus kalau kita bersaudara. Disitu intinya lebaran ini buat kami” ujar Deni.

Baca Juga :  Megilu, Ritual APDP untuk Sungai dan Danau Poso

Di rumahnya di Poso Pesisir, Eda sudah mempersiapkan makanan, minuman dan kue-kue. Seperti tahun-tahun sebelumnya, teman-temannya dari berbagai agama akan datang ke rumahnya. Sudah dua tahun sejak melahirkan, Eda tidak melakukan aktivitas yang memberikannya akses keluar dari kampung untuk bertemu teman-temannya dari berbagai desa. Momentum lebaran memberikannya kesempatan mendengarkan cerita-cerita dari teman-temannya yang datang berkunjung. 

Pdt. Shalom, Pdt. Adolf, Pdt. Ronald dan Pdt. Evi bersilaturahmi ke rumah Ustad Ibrahim Ismail saat lebaran. Foto : Dok. Mosintuwu

Lain halnya dengan empat pendeta yang berjalan bersamaan berkunjung ke rumah-rumah tokoh agama Islam Poso. Saya bertemu dengan Pdt. Ronald Mosiangi, Pdt. Evi Kula, Pdt. Shalom, dan Pdt. Adolf Taroreh, saat mengunjungi Ustad Ibrahim Ismail, sekretaris Komda Alkhairat Poso . Kelimanya terlibat percakapan yang sangat akrab, sesekali disertai celutukan tentang situasi Poso. 

Ustad Ibrahim menyebutkan bahwa momentum idul fitri ini memperkuat toleransi di Kabupaten Poso 

“Kita sama-sama berharap Idul Fitri ini menjadi momentum kita menguatkan masyarakat Poso yang toleran, cinta akan perbedaan, demi agama, bangsa dan negara kita ke depan” 

Pdt. Evi Kula menguatkan dengan mengatakan “ Kita ini sesama saudara, berlebaran ini memberikan pesan bagi kita mengeratkan tali persaudaraan dan persahabatan sebagai sesama saudara di Tanah Poso”

Baca Juga :  Lambat, Mati Kita : Perempuan yang Melawan Corona

Makan Adalah Waktunya

Mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri dan saling maaf memaafkan adalah wajib dalam berlebaran. Tetapi, makanan selalu mengeratkan hubungan silaturahmi. Tidak butuh 5 menit untuk mendengar kata lain selain hari raya dan maaf . 

“ Langsung jo “

Disertai dengan kata selanjutnya ( jika yang diajak terlihat malu-malu )

“Sudah de pe waktu”

Kedua kata ini melengkapi silaturahmi saat lebaran di Poso, yang selalu berarti ajakan untuk makan. Makanan selalu menjadi simbol perekat di Kabupaten Poso. Sebelum ada istilah open house, warga Poso sudah terbiasa membuka rumah mereka bagi tamu untuk makan bersama. Tradisi ini ada jauh sebelum masuknya agama-agama samawi di Kabupaten Poso, melalui tradisi Padungku. Padungku adalah tradisi perayaan panen warga Poso dimana setiap warga memasak dan mengajak orang-orang datang makan untuk bersyukur. 

Beragam makanan yang dihidangkan di atas meja disertai dengan perbincangan seru tentang keadaan masing-masing menjadi sempurna. Bahkan setelah selesai makan, sebagian tuan rumah akan membungkus kue-kue dan makanan untuk dibawa pulang. 

“Ini untuk bekal di rumah nanti, terimakasih sudah datang kunjungi kami” demikian kata Eva sambil memberikan dua bungkusan besar pada kami. 

Bersilaturahmi sambil makan menjadikan hari raya lebaran di Poso terasa hangat. Berkesempatan untuk makan di rumah-rumah , masuk ke wilayah dapur sebuah keluarga adalah sebuah simbol dimana semua orang diterima sebagai keluarga tanpa rasa curiga, apapun agamanya. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda