Kartini di Poso : Cerita Tangguh Perempuan Akar Rumput

0
1988
Di Festival Sekolah Perempuan Mosintuwu, lulusan sekolah perempuan membangun komitment untuk terlibat aktif dalam pembaharuan desa. Foto saat para perempuan dari berbagai desa saling menyemangati dalam kegiatan tarik tambang. Foto : Dok. Mosintuwu

Menggunakan kruk kayu yang dibuat oleh suaminya, Widya berjalan keliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Dia membawa informasi yang diperolehnya dari proses bertanya kepada kepala desa. “Kita berhak mendapatkan layanan masyarakat, tidak boleh diabaikan oleh pemerintah desa” Hak layanan masyarakat yang dimaksudkan Widya adalah layanan raskin dan jamkesmas. Dua tahun program berjalan di desanya, Widya dan sekelompok warga miskin baru mendapatkan akses setelah Widya mengunjungi kantor desa untuk mempertanyakannya. Keberanian Widya berasal dari pengetahuan yang baru dimilikinya setelah mengikuti kelas sekolah perempuan Mosintuwu di kurikulum hak layanan masyarakat. Idenya  mengadvokasi dengan bertanya, diperolehnya dari proses belajar ketrampilan berbicara dan bernalar. Perjalanannya berkeliling dari satu rumah ke rumah lain berhasil mendorong kepercayaan diri warga untuk memperjuangkan hak layanan masyarakat. 

Widya adalah salah satu dari ratusan perempuan di Poso yang saat ini menjadi pembaharu desa. Hadrah, dari Desa Tokorondo adalah contoh lainnya. Bermodalkan pengetahuan tentang ekonomi solidaritas di kelas sekolah perempuan, Hadrah mengorganisir para perempuan di desanya untuk mengembangkan bank sampah. “ Saya tidak perlu menjadi pejabat di dalam desa, yang penting pengetahuan apa yang saya peroleh di kelas sekolah perempuan dapat berguna bagi masyarakat di sekitar saya” tegasnya. Bagi Hadrah, kepemimpinan perempuan bukan terletak pada menjabatnya seseorang pada struktur pemerintahan tapi pada seberapa jauh hal yang dilakukannya bisa membantu sesama. Dengan bank sampah yang diinisiasinya, Hadrah bukan hanya memberi lapangan pekerjaan baru tapi juga meminimalisir kerusakan lingkungan dari konsumsi sampah plastik.

Lain halnya dengan Martha, kepala dusun perempuan pertama kalinya di Desa Kilo, kecamatan Poso Pesisir. “Saya ingin mempengaruhi kebijakan dalam desa dengan berada di dalam struktur pengambil keputusan, paling tidak di lingkungan dusun” ujarnya. Prosesnya berhasil menjadi kepala dusun bukan hal yang mudah. Pada saat pencalonan, Martha didemo oleh sebagian anggota masyarakat yang tidak mendukung adanya perempuan dalam struktur kepemimpinan desa. Pandangan patriaki ini ditentang oleh Martha dengan berhadapan langsung para pendemonya dan menyampaikan pandangannya tentang hak perempuan memimpin dalam desa. 

Baca Juga :  Setelah Konflik, Mungkinkah Membicarakan Poso yang Plural ?

“Justru karena saya didemo, saya diingatkan dengan kurikulum perempuan dan politik di kelas sekolah perempuan “ jelasnya. Kurikulum ini mendorong Martha untuk memastikan partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan di desa menjadi sangat penting agar mengakomodir suara dan kebutuhan perempuan dan kelompok marjinal. Ketika menjabat sebagai kepala dusun, Martha memperjuangkan anggaran untuk kelompok perempuan serta layanan kesehatan yang lebih layak.

Memastikan uang tidak keluar dari desa, dan mengusahakan uang bisa masuk ke dalam desa. Salah satu prinsip dalam kurikulum ekonomi solidaritas ini menjadi motivasi Yuspina, Marce, Martha dan Yeni serta banyak perempuan lainnya. Yuspina, misalnya belajar membuat batako dengan memanfaatkan pasir yang kaya dari sungai Korodolo di Desa Tabarano. Marce dan Herlina di Desa Bancea, mempopulerkan kembali kopi Kojo yang sudah lama diabaikan, sebuah kopi asli yang tumbuh di Poso sejak tahun 1912 . 

Di dunia pendidikan, ada Eva dari Desa Ratoumbu, yang membuka kembali sekolah PAUD untuk memberikan akses pendidikan bagi anak-anak di desanya yang tergolong terpencil karena sulitnya akses jalan. Begitu juga Helpin di Desa Tiu yang mendorong adanya Paud dan mengelola perpustakaan keliling. 

Tak luput dari perhatian para perempuan akar rumput di Poso ini adalah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Velma Riri dari Desa Gintu, Lore Selatan, melampaui keterbatasan fisiknya dengan mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Velma mengunjungi korban dan meyakinkan keluarga untuk tidak membiarkan perilaku kekerasan. Hal yang sama dilakukan oleh Marlice di Desa Ratoumbu, ibu Irna di Pandayora dan lainnya. Mereka adalah para perempuan akar rumput yang tinggal di desa, menggumuli persoalan di desa, dan mencoba dengan caranya yang unik , dengan segala keterbatasannya untuk mengatasi persoalan-persoalan desa.

Baca Juga :  Ituwu, Orang Poso Memasak di Bambu

Bercermin dari Akar Rumput

Akar rumput adalah istilah yang digunakan oleh Institut Mosintuwu untuk mendeskripsikan keberpihak kepada kelompok marginal , tetapi juga menunjukkan roh gerakan yang mengakar dan menghidupi ekosistem di sekitarnya. Widya, Martha, Velma, Hadra, Marce, Helpin dan lainnya adalah para perempuan akar rumput yang tinggal di desanya, menggumuli persoalan di desa dan mencoba dengan caranya yang unik dan dengan segala keterbatasannya untuk mengatasi persoalan-persoalan di desanya. 

Cerita mereka menunjukkan perbedaan yang tajam dari narasi-narasi yang dibangun atau dikampanyekan oleh para calon legislatif ( pun yang berjenis kelamin perempua ). Mereka gelisah dengan hak layanan masyarakat, mempertanyakan maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak kunjung selesai, menciptakan cara untuk mengatasi pengangguran, menunjukkan kepedulian kepada alam dan kebudayaan. Kegelisahan yang disertai dengan upaya untuk mencari jawaban inilah yang tidak dipunyai oleh para politisi, pun yang perempuan dan yang mengaku memperjuangkan kesetaraan gender.

Cara mereka menemukan jawaban atas kegelisahan yang dihadapi dengan sangat mencolok membedakannya dengan bagaimana pemerintah daerah mengatasi persoalan dalam masyarakat. Kebutuhan lapangan pekerjaan tidak serta merta direspon dengan mendatangkan investor yang sudah pasti akan mengeksploitasi sumber daya alam, berikutnya sudah dipastikan akan merusak lingkungan yang seharusnya menjadi warisan bergenerasi. Cerita ibu Yuspina, Marce dan Herlina menggambarkan bagaimana membangun perekonomian masyarakat desa bukan sekedar membuka lapangan pekerjaan tapi berakar pada modal alam dan serta merta bersolidaritas dengan alam, sehingga tidak mengeksplitasinya. 

Baca Juga :  Siapa Merusak Sungai, Tidak Masuk Surga

Penyelesaian kasus kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak jauh dari rapalan sekedar doa dan nasehat yang bias dan tidak berpihak pada pelaku. Sebaliknya, korban didampingi untuk menjadi penyintas yang memperjuangkan haknya dan menjadi orang yang secara aktif ikut dalam gerakan anti kekerasan. 

Tujuan yang hendak dicapai dari semua aksi pembaharuan yang sedang dilakukan oleh perempuan akar rumput ini bukanlah keterkenalan, juga bukan kehidupan ekonomi yang mapan. Mengutip Hadrah “ sebaik-baiknya manusia, adalah mereka yang berguna bagi sesamanya” Sebuah kutipan dari Hadits Nabi. 

Martince Baleona, anggota sekolah perempuan Mosintuwu yang sekarang aktif bergabung mengorganisir sekolah pembaharu desa dengan tegas menyampaikan alasannya “ Saya sudah menerima dampak perubahan yang luar biasa pada diri saya setelah mengikuti kelas sekolah perempuan, saya bermimpi lebih banyak perempuan dapat mentransformasi dirinya untuk memperjuangkan haknya dan memperjuangkan hak orang lain”. 

Kisah Widya yang tidak berhenti pada mengadvokasi hak layanan masyarakat bagi dirinya sendiri adalah salah satu cerita yang menggambarkan arah gerakan para perempuan akar rumput ini. Sementara mereka yang mengatasnamakan wakil rakyat sibuk merancang proyek-proyek yang sedapatnya menguntungkan, para perempuan akar rumput ini berjuang di garis sunyi, memperjuangkan kedaulatan masyarakat.

Hari Kartini, 24 April 2019, mengangkat cerita perempuan tangguh akar rumput ini menjadi cermin bagi perjuangan kedaulatan rakyat oleh perempuan di Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda