Paska 29 September 2019 : Merancang Bangun Rekonstruksi Berbasis Komunitas

0
1463
Para ibu menidurkan anak-anaknya yang masih bayi di tenda sementara yang dibangun warga paska gempa. Foto : Dok. Mosintuwu/Ishak

“Gempa bumi tidak membunuh, yang membunuh manusia saat gempa adalah konstruksi bangunan” Reza Permadi, anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia menyatakan hal tersebut dalam launching Ekspesisi Poso di Tentena, Februari 2018.  Reza, yang juga ketua Geosaintis muda Indonesia, menambahkan ketidaktahuan warga tentang bumi yang dihuninya menjadikan sebagian besar konsep pembangunan di banyak wilayah di Indonesia tidak peka pada gerakan tanah. 

Paska gempa bumi berkekuatan 7,4 SR yang melanda Palu, Sigi dan Donggala serta sebahagian Parigi tanggal 29 September 2018,  pembangunan kembali sedang dirancang pemerintah Indonesia. Seiring dengan pembangunan kembali hunian tempat tinggal, beragam program rekonstruksi dirancang oleh LSM Internasional dan nasional untuk menangani persoalan yang dihadapi oleh korban dan penyintas. 

“Sayangnya, rekonstruksi wilayah paska bencana  sangat sering tidak melibatkan masyarakat” komentar Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu Poso. Meskipun berada kurang lebih 200 km dari wilayah terdampak bencana, Institut Mosintuwu menjadi organisasi pertama yang berada di lokasi dan memberikan akses bantuan makanan, yang dilanjutkan dengan membuka dapur umum di 92 tempat. Lian melanjutkan,  pengalaman penanganan masyarakat paska konflik di Poso, memberikan pelajaran penting terkait rekonstruksi berbasis komunitas. 

Baca Juga :  Hadrah : Pengumpul Sampah yang Melindungi Lingkungan

“Pengetahuan dan pengalaman masyarakat berhadapan dengan lingkungan alam dan kehidupan sosial sering diabaikan dalam rancangan pembangunan” ujar Lian. 

Training Pemetaan Geospasial dan Analisis Sosial sebagai dasar rekonstruksi berbasis komunitas, 3 – 9 April 2019 di Sigi. Foto : Dok. Mosintuwu

Padahal, menurut lian, pengetahuan lokal menjadi faktor sangat penting untuk memastikan pembangunan yang dirancang dan dilakukan tidak menyebabkan bencana baru.  Salah satunya dicontohkan oleh Lian, di Desa Kabonga Besar Kabupaten Donggala yang berada di tepi pantai dan ikut diterjang tsunami, tidak mengalami kerusakan karena adanya pohon Manggrove di sepanjang pantainya. Hal ini dikuatkan oleh Neni Muhidin, seniman dan pegiat literasi bencana . Dalam penelusurannya, Neni mencatat toponimi desa-desa di wilayah Palu dan Donggala. Desa Rogo, misalnya, yang artinya hancur; atau Desa Tompe, yang artinya meluapnya air laut akibat pasang. Kaombona artinya Runtuh atau tanah runtuh, yang merupakan salah satu lokasi bekas tsunami di kota Palu yg terjadi tahun 1927, Kelurahan Duyu,  artinya longsor. Sementara, Balaroa, wilayah yang mengalami likuifaksi dulunya bernama Lonjo yg artinya terbenam. Lalu, Desa Loli Tasiburi di Donggala yang mengalami terjangan tsunami yang parah, Tasiburi artinya laut yg menghitam. 

Menyadari kebutuhan mendesak keterlibatan pengetahuan lokal dalam merancang pembangunan paska gempa, tsunami dan likuifaksi, Institut Mosintuwu melakukan serangkaian pelatihan bersama dengan komunitas di wilayah Desa Toaya, dan Batusuya Kabupaten Donggala, serta Desa Lemusa Kabupaten Parigi.

Baca Juga :  Tiga Nelayan Danau Poso Terancam Punah

Pelatihan melibatkan anak-anak muda asal desa tersebut untuk memperkuat perspektif mereka dalam membangun kembali desanya. Ketiga desa ini telah bekerjasama dengan Institut Mosintuwu melakukan serangkaian kegiatan respon bencana di tahapan tanggap darurat melalui gerakan dapur umum, pendidikan alternatif dan keranjang keluarga. 

Bekerjasama dengan Indonesia untuk Kemanusiaan ( IKA ), penguatan kapasitas untuk membangun desa, diselenggarakan tanggal 3 – 9 April di Sigi. Analisis sosial, pemetaan geospasial , dan kepemimpinan transformatif menjadi topik utama dalam pelatihan yang diikuti 20 anak muda dari Desa Toaya, Lemusa. 

“Kita ingin memastikan bahwa proses rekonstruksi berbasis komunitas bisa menghadirkan keadilan yang lebih baik bagi komunitas” kata Anik Wusari, direktur IKA .

Peserta sedang memetakan desa menggunakan GPS. Foto : Dok. Mosintuwu

Pemetaan geospasial dan data sosial dalam masyarakat di desa diharapkan dapat membekali anak-anak muda ini untuk menyusun agenda bersama menentukan program ke depan.

Difasilitasi oleh Hambali dan Samsidar, para peserta diajak untuk membicarakan bagaimana bertahan dalam bencana dan  berkontribusi dalam mensupport komunitas dalam menghadapi bencana, juga agar terbangunnya pengetahuan dan pemahaman peserta tentang konsep dasar-prinsip dan kebijakan penanganan bencana/konflik secara nasional maupun internasional, yang dapat dijadikan salah satu pengangan-pijakan dalam kerja rekonstruksi berbasis komunitas . 

Baca Juga :  The Power of Mama-mama Poso : Mereka di barisan depan perubahan

Anik menegaskan kebutuhan pelatihan ini juga untuk terbangunnya pengetahuan dan kesadaran kritis peserta terhadap persoalan krusial sosial budaya dan struktur politik yang membuat gap, diskriminasi dan kekerasan serta kerentanan baru bagi masyarakat-kelompok minoritas sebelum dan dalam proses rekonstruksi . Dalam pelatihan yang dilaksanakan di pemandian air panas Bora, Sigi, dibicarakan juga ide-ide dan gagasan awal terhadap prioritas kerja, peran dan strategi yang akan dilakukan dalam membangun kembali kehidupan yang lebih berkualitas dan adil paska bencana/konflik di wilayahnya termasuk membangun kapasitas mitigasi dan menjadi wilayah-masyarakat yang tanggap dan peduli bencana

“Banyak sekali LSM yang masuk ke wilayah Donggala sekarang, tapi seringnya datang langsung memberikan bantuan tanpa bertanya apa kebutuhan kami” demikian Ade Nuriadin, penyintas gempa dan tsunami yang mengikuti pelatihan ini. Ade bersama teman-teman muda lainnya membentuk komunitas Tana Sanggamu. 

Tana Sanggamu yang berdiri paska bencana, dan anak-anak muda di Desa Lemusa, akan menjadi wilayah kerja bersama Institut Mosintuwu untuk memastikan pembangunan paska bencana berbasis pada komunitas.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda