Menjiwai Kedaulatan di Maskot Festival Mosintuwu

0
2061

Orang Poso tidak bisa dilepaskan dari danau dan kebun, dua sumber penghidupan bagi masyarakat yang mendiami salah satu kabupaten tertua di Sulawesi Tengah ini. Hamparan sawah mengelilingi danau yang kemudian menciptakan tradisi Padungku, upacara syukur atas kebaikan alam yang sudah memberikan makanan. Saat Padungku, beragam masakan dihidangkan untuk disantap bersama, selain Inuyu yakni beras yang dipanggang dengan santan didalam bambu juga ada Sogili atau Sidat dan ikan-ikan danau yang dimasak dengan daun Onco dan Arogo.

Festival Mosintuwu memilih 4 maskot yang merepresentasikan visi festival sebagai ruang mengingat dan merayakan pengetahuan dan alam Poso. Di Festival Mosintuwu, akan disambut oleh Onco, Sogili dan Sango yang kemudian menjadi maskot festival ini.Onco Arogo

Onco, daun ajaib yang membuat masakan olahan ikan dan Sogili menjadi lezat tertanam hampir disetiap halaman rumah. Pohonnya sekilas tidak berbeda dengan tanaman lain, dengan daun sedikit lebar hampir tidak ditemukan di daerah lain, setidaknya kami menanyai beberapa koki yang pernah datang ke Poso.

Onco dan Arogo bukan hanya menjadi simbol kelezatan makanan khas Poso, tetapi juga sebagai tanda kemandirian orang desa atas pangan, tidak tergantung pada bahan-bahan makanan dari luar, karena mereka percaya punya kekuatan besar. Selera makan orang bisa berubah semakin modern, tapi daun Onco Arogo bisa membuat mereka kembali ke identitasnya sebagai orang Poso.

Baca Juga :  Membangun Rumah KITA di Poso, Agar Desa Tidak Ditinggalkan

Mosango

Ciri lain orang Poso adalah kebersamaan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, yang paling terkenal adalah Padungku dan Molimbu serta Mesale. Namun ada kebersamaan lain yang begitu menguatkan kebersamaan dan kekeluargaan. Namanya Mosango, tradisi menangkap ikan menggunakan alat bernama Sango, sebuah perangkap ikan berbentuk bulat memanjang yang dibuat dari lidi enau.

Mosango seperti kata L Sarodja, tetua desa Pandayora sudah menjadi bagian dari mereka sejak kecil. Mengeratkan kebersamaan  dan kegembiraan adalah dua hal yang membuat puluhan bahkan ratusan warga desa di Pamona Selatan itu pergi sejauh 10 kilometer menuju ke sungai Leru di desa Tokilo untuk Mosango.

Nenek Osin (68) menuturkan sejak remaja dirinya turut Mosango bersama ratusan orang di Kompo Dongi, sebuah cekungan di sungai Poso, tempat ikan-ikan endemik danau terjebak saat air danau surut.

Dalam Mosango orang diajak bergerak membentuk lingkaran dengan gerak seirama untuk mengepung tempat dimana ikan diperkirakan berada. Gerakan ini kadang diiringi nyanyian dan sorakan yang menambah semangat dan membuat semuanya gembira. Baik Sarodja maupun nenek Osin sama-sama sepakat, Mosango adalah merawat jiwa, membuat mereka tetap gembira dan tenang menjalani hidup. Kini Mosango mulai jarang dilakukan, teknologi baru yang tidak ramah lingkungan seperti strom hingga pukat mulai digunakan menguras ikan ditempat-tempat Mosango biasa dilakukan.  Belakangan, Kompo Dongi, tempat Mosango warga kelurahan Petirodongi, Sawidago, Tentena dan Sangele direncanakan untuk di reklamasi untuk dijadikan taman konservasi oleh pemerintah dan perusahaan.

Baca Juga :  Ada "Ratapan Danau Poso" di Pertunjukan Teater

Sogili

Sidat atau Anguilla Celebensis yang oleh orang Poso disebut Sogili adalah simbol danau Poso. Sepanjang aliran sungai dimulut danau Poso berdiri bangunan berpagar bambu ditengahnya, itulah yang disebut Waya Masapi atau pagar Sogili, teknologi tradisional yang canggih yang dibangun nelayan danau Poso secara turun temurun, selain itu nelayan juga menangkapnya dengan tombak pada malam hari, cara ini disebut Monyilo yakni menggunakan lampu untuk menarik Sogili mendekat. Harga dagingnya yang mahal, mencapai 60 ribu rupiah per kilogram membuatnya semakin diburu untuk dikonsumsi maupun untuk eksport. Dari penjualan Sogili ini juga banyak orang Poso, khususnya yang tinggal di pinggir danau Poso menjadi sarjana, begitu yang dituturkan ngkay Lore (63) dan F Kompudu, dua orang pemilik pagar Sogili yang menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi.

Sogili memang hidup dan besar di danau Poso. Namun hewan yang panjangnya bisa mencapai 1,80 meter ini akan turun bertelur di laut, lalu anak-anak Sogili berenang menyusuri sungai menuju ke danau tempat mereka tumbuh hingga dewasa.

Baca Juga :  Peneliti : Pengerukan dan Bendungan PLTA Merusak Habitat Danau Poso

Orang-orang tua di Tentena menceritakan, saat mereka remaja dengan mudah melihat Sogili berenang dari atas jembatan Pamona. Sekarang, pemandangan itu sudah tidak terlihat lagi. Sogili memang semakin langka. Antara bulan Juni hingga Juli, disepanjang jalan antara kelurahan Pamona-Petirodongi banyak nelayan menjual Sogili hasil buruannya semalam. Meski begitu mereka mengakui hasil tangkapannya berkurang dari tahun ke tahun. Kerusakan lingkungan, salah satunya jalur menuju laut dan sebaliknya menjadi salah satu sebab Sogili kini semakin langka.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda