Tokoh Agama dan Kepolisian Poso Deklarasikan Anti Ujaran Kebencian dan Hoaks

0
1760

Meski sudah dilarang secara hukum maupun etika setiap hari kita bisa melihat di media sosial praktek ujaran kebencian dan hoaks terus berlangsung. Dilansir dari detik.com, sepanjang tahun 2017 lalu, polri telah menangani 3.325 kasus kejahatan hate speech atau ujaran kebencian. Angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 1.829 kasus. Jika terus dibiarkan berkembang akan mendorong masyarakat kedalam sekat-sekat yang pada akhirnya mengoyak ke Indonesiaan. Situasi inilah yang mendorong Imparsial dan Fahmina Institut bekerjasama dengan Institut Mosintuwu menyelenggarakan workshop Anti Ujaran Kebencian yang melibatkan pihak Kepolisian di Poso dan tokoh-tokoh agama yang dilaksanakan 23 Februari 2018 lalu di Dodoha Mosintuwu, Tentena.

Ardi Manto Adiputra, koordinator peneliti Imparsial mengatakan, alasan dipilihnya Poso sebagai salah satu daerah untuk melaksanakan workshop Anti Ujaran Kebencian karena pengalaman konflik yang pernah terjadi di daerah ini. Kabupaten Poso menurut dia punya resiko dua kali lebih besar potensi konfliknya dibanding daerah lain.

Lantas apakah ujaran kebencian via media sosial sudah sampai mempengaruhi masyarakat kabupaten Poso? jawabannya ya, pada akhir 2017 lalu sekelompok masyarakat melaporkan seorang warga karena dianggap menyinggung perasaan umat Islam. Beberapa bulan sebelumnya, Kepolisian Resort Poso juga menerima laporan dari kelompok masyarakat atas sebuah akun facebook yang dianggap menyebarkan provokasi ditengah masyarakat. Meski pihak kepolisian menghadapi beberapa hambatan teknis, namun proses penyidikan dan penyelidikan kasus ini masih terus bergulir.

Baca Juga :  Mengembangkan dan Menjaga Laboratorium Alam Danau Poso dalam Kerjasama Mosintuwu dan Fapetkan UNTAD

Data BPS menunjukkan pengguna media sosial seperti Facebook, Twitter dan Whatsapp di kabupaten sudah mencapai 24,33 persen dari total penduduk. Dari jumlah itu, sebanyak 51,77 persen adalah mereka yang pendidikannya SMA dan diatasnya. Ada pula 5,51 persen tidak tamat SD. Profil pengguna media sosial yang tanpa literasi kuat seperti di kabupaten Poso cenderung mudah dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu untuk menimbulkan keresahan melalui media sosial.

Bukan hanya masyarakat umum, Kapolres Poso, AKBP Bogiek Sugiarto mengatakan, masih ada juga diantara aparatnya yang belum memahami apa yang dinamakan ujaran kebencian. “Karena itu semuanya wajib untuk memahaminya”tegas Bogiek saat memberikan pemaparan dalam workshop ini.

Peneliti Imparsial, Evitarossi mengatakan, sangat banyak fakta sejarah dan saat ini yang menunjukkan ujaran kebencian memupuk subur tumbuhnya intoleransi dan mendorong orang melakukan kekerasan, diskriminasi dan permusuhan ditengah masyarakat.

Situasi seperti yang disebutkan Evitarossi itu pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran kelompok masyarakat untuk berekspresi karena khawatir apa yang mereka lakukan akan disalahartikan kelompok lain lalu disebarkan penuh kebencian di media sosial hingga menimbulkan masalah. Inilah yang mungkin menjadi salah satu penyebab warga Kristen di kelurahan Madale, Poso Kota Utara tidak memutar lagu-lagu rohani di Gereja dengan menggunakan pengeras suara, sebab khawatir akan menyinggung umat lain.

Baca Juga :  Tidak Ada Teladan dan Ketidakpedulian : Kasus Covid-19 Poso Meningkat

Ustadz Abdul Rahim yang menjadi peserta Workshop ini menceritakan, warga kristen di kelurahan Madale sudah tidak pernah lagi memutar lagu-lagu rohani di Gereja menggunakan pengeras suara sejak kerusuhan tahun 2000 silam karena adanya sekelompok kecil masyarakat yang menolak. Namun lewat dialog akhirnya masyarakat di kelurahan Madale dan Tegal Rejo tidak lagi mempermasalahkan suara nyanyian lewat pengeras suara di Gereja.

Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu mengatakan, akar ujaran kebencian sebenarnya berawal dari ketidaktahuan dan pemahaman akan sesuatu yang kemudian dimasuki oleh kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu. Lian memuji keterlibatan tokoh agama dan kepolisian dalam gerakan ini karena mau belajar bersama dan bergandeng tangan menghadapi maraknya ujaran kebencian.

Dengan gerakan bersama ini, para tokoh agama tidak akan mudah dikompori pihak tertentu yang punya kepentingan ekonomi politik, demikian juga kepolisian akan lebih profesional dalam melakukan penindakan karena ada dukungan masyarakat dan tokoh agama.

Agar praktek ujaran kebencian tidak terus terjadi, para tokoh agama bersama kepolisian dan pemuda kabupaten Poso mendeklarasikan gerakan anti ujaran kebencian. Berikut 6 poin deklarasi anti ujaran kebencian yang dihasilkan dalam Workshop di Dodoha Mosintuwu.

Berikut deklarasi bersama anta Kepolisian Poso, Tokoh Agama, Masyarakat, dan Pemuda Kabupaten Poso
1. Menyerukan kepada semua pihak di masyarakat untuk menghentikan penyebaran ujaran kebencian atas dasar suku, agama, ras, atau identitas sosial lain karena perbuatan ini akan menyulut maraknya aksi kekerasan, diskriminasi, dan konflik sosial di masyarakat;
2. Mengajak kepada semua pihak di masyarakat untuk memanfaatkan berbagai media baik itu tempat-tempat umum (rumah ibadah, lapangan, jalanan, dsb), media cetak maupun elektronik (media-media sosial) secara cerdas dan bertangung jawab;
3. Mendukung tokoh-tokoh agama, masyarakat, dan pemuda untuk berperan aktif melakukan edukasi dan memberikan penyadaran kepada masyarakat luas agar tidak membuat dan menyebarkan ujaran kebencian di ruang publik;
4. Menggugah tokoh partai dan elit politik serta para pendukungnya untuk menghindari dan tidak menggunakan politik kebencian (ujaran kebencian, hoaks, fake news) sebagai instrumen politik untuk mempengaruhi masyarakat dalam rangka pemenangan Pilkada, Pileg, dan Pilpres;
5. Mendukung Kepolisian untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelaku ujaran kebencian dan hoaks sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Mendukung adanya sinergitas yang kuat antara Pemerintah Daerah dengan elemen-elemen lain di dalam masyarakat agar semakin berperan aktif dalam penanganan ujaran kebencian dan hoaks di wilayah Poso.

Baca Juga :  Randa Ntovea: Kisah Wabah di Sulteng, Covid-19 Bukan Yang Pertama

Ditandatangani oleh Kapolres Poso, Institut Mosintuwu Poso, Imparsial, Fahmina Institute, Tokoh Agama Islam, Tokoh Agama Kristen, KabupateTokoh Agama Hindu , Kabupaten Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda