Bicarakan Perdamaian dan Keadilan di Meja Makan Poso

0
4472
Kuliner asli Poso di Festival Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu/Lian

Di atas meja kayu tanpa alas, berjejer sejumlah makanan beraroma sedap nan menggiurkan. Masing-masing desa mempresentasikan jenis masakannya. Bekoloka, sup wuriri, balaiko, kukis kasubi, ituwu ayam/ ikan, onco arogo, jus jongi, batelepang, pancua, nasi batata ungu, dui, arogo Nike, kalopa jagung, ituwu simongku, inuyu ubi, sayur arogo, dange, apang jantung pisang , kosa gapu, doko-doko. Demikian antara lain nama-nama jenis masakan yang pagi itu dipresentasikan. Berjarak 3 meter dari tempat meja makan, panas terik tidak menghalangi puluhan pengunjung untuk duduk menyimak penjelasan sambil menghirup aroma sedap. Mereka menantikan kesempatan untuk bisa mencicipi kuliner asli Poso yang sudah sangat jarang dimasak bahkan oleh orang Poso sendiri.

Moapu, atau memasak kuliner Poso dengan tema “ kembali ke asal” menjadi salah satu program utama di Festival Hasil Bumi Poso. Terdapat 10 desa hadir mempresentasikan beragam jenis masakan. Demo masak yang diadakan di tengah lokasi festival pada hari kedua festival mengundang decak kagum dan rasa penasaran. Para juru masak dari desa mengajak pengunjung untuk mengenal kembali dan menggali ulang ingatan atas kekayaan rempah dan pangan yang ada di desa Poso. Simbowane misalnya, batang sereh hutan yang berbentuk lebih besar dengan aroma yang membuat saya kembali ke masa lalu. Daun Onco dan Arogo menjadi bahan utama rempah di sebagian besar meja makan. Ubi adalah pengganti nasi, menjadi kue, atau dimasak dibambu.

Baca Juga :  Perjalanan Empat Pantai Danau Poso, Dari Dulumai Hingga Dumalanga

Bukan hanya rempah yang kaya, cara memasak para juru masak dari desa-desa ini memamerkan alam menyediakan lebih dari cukup untuk digunakan memenuhi kebutuhan manusia. Bambu menjadi wadah utama memasak dengan cara di bakar, harumnya menghipnotis perut. Juru masak dari Desa Panjo membawa oven tradisional dengan menggunakan dula dan paloko menjelaskan kecerdasan nenek moyang mengolah makanan dengan menggunakan api dan pasir menjadi alat pemanas yang membakar kue.

“Kami ingin mulai membicarakan perdamaian dan keadilan di Poso dari makanan, cara makan dan kekayaan alam di desa” Ini disampaikan Lian Gogali , ketua Institut Mosintuwu yang menginisiasi Festival Hasil Bumi. “Di meja makan, keragaman cara memasak dan kekayaan kuliner bisa menyatu di lidah. Tidak ada lagi rempah beragama apa, yang ada adalah kehidupan yang dijanjikan melalui sedapnya makanan di atas meja” lanjutnya. Apalagi, menurut Lian, terdapat kolaborasi yang indah antara bahan pangan lokal dengan selera yang berkembang dan dibawa dari luar misalnya dari orang-orang yang datang kemudian di Poso.

Cici, koordinator program menjelaskan “ Di program moapu, antar desa bisa membangun kepercayaan diri atas kuliner khas yang ada di desanya, dan bisa saling belajar dengan mengembangkan bahan dasar yang ada. Meskipun bentuknya lomba, moapu adalah cara kami menghadirkan keragaman sekaligus keaslian kuliner Poso” Dengan demikian, menurut Cici, warga desa membangun kepercayaan diri untuk kembali ke bahan pangan lokal sekaligus memulai bekerjasama untuk menjaga alam desa. “Islam, kristen, hindu, semua ada di desa, mereka hidup dari tanah dan air di sekitarnya. Pangan adalah modal kehidupan yang bisa mempertemukan kepentingannya” pungkas Cici.Seperti yang banyak diketahui oleh masyarakat di Poso saat konflik terjadi, identitas agama seringkali dibicarakan sangat sensitif. Bahkan, menurut Erni, salah satu anggota sekolah perempuan Mosintuwu, bahan makanan dianggap beragama. Ini dikarenakan jenis bahan makanan yang diproduksi oleh masyarakat dikaitkan dengan agama, mereka yang mayoritas beragama Islam sebagian besar bekerja sebagai nelayan sementara mayoritas beragama Kristen bekerja sebagai petani “Akhirnya, sayuran beragama Kristen karena dianggap dari orang Kristen, ikan-ikan beragama Islam karena berasal dari nelayan muslim dan seterusnya” gelaknya.

Baca Juga :  Peneliti : Pengerukan dan Bendungan PLTA Merusak Habitat Danau Poso

Moapu dilaksanakan setelah sebelumnya hadir workshop kuliner dari empat suku asli di Poso, yaitu Pamona, Mori, Bada dan Napu. Dalam workshop kuliner ini, masing-masing suku mempresentasikan dua jenis makanan sehari-hari dan penganan ringan yang sudah langka di desa. Juru masak dari suku Mori memperkenalkan kembali resep Hinolai, penganan dari jagung yang dibakar bersama dengan pisang. Suku Pamona memperkenalkan ituwu ayam yang berbahan dua daun terkenal Onco dan Arogo lalu dibakar di dalam bambu.

Menjelajahi kuliner asli Poso di festival hasil telah berhasil menunjukkan keragaman dan kekayaan pangan lokal Poso. “Saya yakin, Poso bisa menghadirkan kuliner asli yang tidak kalah dengan resep masakan lainnya di Indonesia yang sudah terkenal” Ujar Lisa Virgiano, ahli makanan nusantara yang datang khusus di festival hasil bumi untuk mempelajari rempah Poso. “Rahasianya adalah bertahan dan menggunakan rempah lokal. Untuk bisa menggunakan rempah lokal, menjaga lingkungan adalah wajib” Selanjutnya Lisa memberikan apresiasi dan ajakan agar penggunaan rempah dan pangan lokal tidak hanya saat festival tapi mulai kembali diangkat sebagai sumber makanan sehari-hari.

Baca Juga :  Membangun "Rumah" Perlindungan Perempuan dan Anak

“Untuk bisa bekerjasama mempertahankan alam dan menguatkan kuliner lokal, semua orang perlu bekerjasama, apapun agamanya apapun sukunya” seru Lian dalam refleksi bersama festival. “Kita tidak punya waktu untuk saling memusuhi atau berkelahi. Kita berkejaran dengan masifnya perkebunan sawit yang masuk di desa, atau datangnya pemodal yang menguasai hutan. Jika kita tidak bertahan dan bekerjasama, kita bukan hanya kehilangan tanah dan air, tapi tidak ada lagi yang tersedia di meja makan. Maka, mari kita mulai bicarakan perdamaian dan keadilan di Poso mulai dari meja makan”

Festival Hasil Bumi yang diselenggarakan tanggal 18 – 19 September 2017, adalah festival kedua yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu . Membawa tema’ kembali ke alam, merajut kedaulatan desa” festival hasil bumi diharapkan membawa persepektif baru membicarakan Poso dari alamnya, dari orang-orang di desa.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda