Merajut Damai di Gempa Poso

0
1819
Pdt. Chella Marunduh dari Tentena bersama teman baiknya Masna dari Tokorondo. Foto : Sue Useem

Tanggal 29 Mei 2017, pukul 22.35 Wita, terjadi gempa berkekuatan 6.6 SR dengan kedalaman 10 km di bawah permukaan laut, di wilayah Wuasa Kabupaten Poso. 15 menit setelah gempa pertama terjadi, kepanikan terjadi hampir di semua wilayah karena tidak adanya informasi yang cukup cepat, trauma dan terutama ingatan tajam yang mengerikan atas tsunami di Aceh. Tentu, semua mau hidup. Kelurahan Bukit Bambu, menjadi pilihan sebagian besar orang untuk mengungsi, karena terletak lebih tinggi dari desa lain. Puluhan mobil mengantri naik ke desa, beberapa truk bolak balik mengantarkan sekelompok orang, Pertama kalinya sejak peristiwa konflik di Poso, kurang lebih 500 orang tumpah ruah di desa itu.

“Muslim, sebagian bercadar, bawa anak-anak, saling mencari keluarga atau berkumpul di lapangan” cerita ibu Martince, warga Desa Bukit Bambu. Mereka dari Sayo, Tegalrejo, Poso Kota, Lawanga. Warga desa yang seluruhnya beragama Kristen bekerja sigap. Awalnya seluruh keluarga Bukit Bambu duduk di luar rumah dengan peralatan tidur, langsung berdiri dan bekerja, menyambut rombongan yang datang, mencari rumah-rumah yang beruangan besar, mengarahkan perempuan dan anak-anak untuk berlindung di rumah yang dianggap aman. “Sebagian menolak karena katanya ‘ kami ini lari dari dalam rumah, jadi tidak usah dulu masuk dalam rumah” kata ibu Martince.

Baca Juga :  Merawat Sejarah Perempuan Lewat Film oleh Ratna Asmara

Mobil-mobil berjejer di hampir sepanjang jalan desa yang sempit itu. Lampu-lampu darurat disiapkan. Sekolah dan gereja siap dibuka jika jumlah mereka yang mengungsi sudah lebih banyak.

1,5 jam setelah gempa pertama, gempa susulan tidak berhenti, semakin banyak yang datang ke Bukit Bambu. Isu air laut surut, sebuah tanda yang dipercaya memulai tsunami, menyebar. Martince harus mendatangi kelompok satu persatu menjelaskan informasi lokasi gempa dan bahwa tidak berpotensi tsunami, sambil menunjukkan sms informasi yang diterimanya. Martince juga berbagi tips tentang apa yang harus dilakukan saat gempa ketika sedang berada di dalam rumah, di luar rumah atau sedang berkendaraan. Informasi bahwa gempa tidak berpotensi tsunami, sebagian percaya dan memutuskan kembali ke rumah, yang lain mengatakan “Biar saja, tidak apa, sudah terlanjur kami disini, sudah terasa lebih aman sekarang” Mereka merasa lebih aman di desa yang selama ini sebagian dari mereka hanya pernah didengar namanya, yang dihuni oleh komunitas agama Kristen.

Tengah malam hingga dini hari tanggal 30 Mei 2017, silahturahmi itu terjadi. Saling bercerita.

Seperti diceritakan Martince “ Saya berjalan keliling dari rumah ke rumah atau di kelompok-kelompok yang datang. Saya mendengar bagaimana orang-orang Kristen dan Islam saling bercerita entah dalam rumah atau di luar rumah. Saya hampir menangis, sangat terharu melihat mereka saling berbaur dan bercerita. Ada yang saling bercerita begini ‘ dulu, kita juga mengungsi saat kerusuhan di Poso. Wah, waktu itu kami jalan kaki ke hutan-hutan bisa sampai berhari-hari. Apalagi kalau kami dengar sudah ada yang teriak “ Allahu Akbar” sudah dekat itu orang Islam yang datang mau kejar kami ‘ Yang lainnya menyahut ‘ Wah sama, waktu itu kita ada yang jalan kaki ke arah Palu, atau ada yang naik mobil tangki Pertamina dengan pakaian di badan. Apalagi kita dengar itu pasukan merah orang Kristen sudah dekat di desa tetangga”. Setelah itu tertawa sama-sama.

Baca Juga :  Politik Pangan di mata Perempuan Poso

Di tempat lain, kelompok-kelompok kecil saling menanyakan alamat dimana atau perkembangan keluarga yang sekarang seperti apa. Maklum, baru pertama kali bertemu lagi atau baru bertemu. Warga Bukit Bambu yang Kristen sebagian besar tidak pernah mengunjungi wilayah-wilayah tertentu di Poso Kota seperti Kayamanya dan Moengko. Bukan takut tapi ada rasa kurang percaya diri.

Dikunjungi langsung oleh warga Muslim membuat mereka lebih mengerti situasi terakhir dan belum-belum sudah berencana akan saling mengunjungi. Di desa ini, pernah terjadi mutilasi terhadap 3 siswa SMU. Peristiwa mutilasi ini pernah melekatkan trauma bagi sebagian besar warga Bukit Bambu terhadap komunitas Muslim. Subuh hari itu, ketakutan dan trauma terurai. “ Nanti kalau saya ke Kayamanya, saya cari ibu ya? “ Yang lain bicara “ nanti kalau ketemu di pasar atau dimana, jangan lupa baku tegor / saling tegur”

Subuh, dini hari ini, mereka sahur dan sholat sebelum kembali pulang ke rumah masing-masing. Sehari setelah gempa pertama terjadi, warga Bukit Bambu merasa kehilangan, anak-anak muda berkomentar “Sunyi, tidak ada lagi dorang ( mereka yang muslim)”. Pada akhirnya berteriak sekencang-kencangnya di lapangan desa seakan-akan melampiaskan kesunyian yang dirasakan tiba-tiba saat kehangatan baru terisi. Terdapat kesadaran yang jujur tentang indahnya kebersamaan yang sempat terbangun diantara mereka. Kebersamaan itu yang membuat masing-masing diantara mereka pulang dan di rumah masing-masing menguatkan kehidupan damai di Tana Poso.

Baca Juga :  Mengungsi dengan Sepuluh Jari, Punya tanah dari beras 5 kilo

Gempa masih beberapakali terasa getarannya di Kabupaten Poso. Tapi, Warga Poso belajar mengatasi ketakutan dan kepanikan, juga menjadikannya ruang menjaga dan merajut kehidupan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda