Cerita Damai dari Bakul Ikan

1
2754

Pagi itu, di tahun 2000, sebagian besar orang masih terlelap. Sarino sudah di dapur, tangannya yang cekatan mengatur ikan di keranjang. Sorot matanya nampak teguh menyiratkan niatnya berjualan ikan hari itu. Di sekitarnya, suami dan beberapa anggota keluarganya masih terus berusaha mengingatkannya.

Pigi ( pergi) cari mati kau ”

Sarino hanya diam. Beberapa puluh menit kemudian, kakinya  sudah melangkah keluar dari desa Tokorondo. Kepalanya menjunjung bakul ikan yang sudah disiapkannya semalam dan diisi ikan segar subuh tadi.

Bukannya tidak tahu. Sarino berulangkali mendengarkan cerita penembakan, penculikan, pembunuhan misterius, serangkaian bom yang masih terjadi. Bahkan, rumah dan tempat tinggalnya dulu tidak luput dari aksi pembakaran. Sarino dan suaminya baru saja pulang dari tempat pengungsian di luar Kabupaten Poso. Mereka punya pengalaman  mengungsi dan tinggal di rumah dan tanah orang . Suaminya jatuh sakit, anak-anaknya tidak bisa sekolah. Di pengungsian, meskipun jauh dari bom dan suara tembakan, hidup sangat susah dengan penghasilan 1000 – 5000 rupiah setiap harinya. Pulang kembali ke Desa Tokorondo adalah pilihan untuk melanjutkan hidup mereka. Menjadi nelayan.

Tapi, beberapa minggu kembali dari pengungsian, ikan-ikan tangkapan di laut tidak habis dimakan.

“Bahkan kucing pun sudah bosan makan ikan” selorohnya.

Menjadi penjual ikan keliling dengan bakul di atas kepalanya adalah pekerjaan sehari-hari Sarino. Dilakukannya jauh sebelum konflik Poso terjadi. Berjalan kaki mengunjungi rumah-rumah di desa-desa Poso Pesisir.

“Ikan-ikan, ikan baru!”

Baca Juga :  Rekomendasi Kongres Perempuan : Perempuan dalam Adat dan Budaya

Demikian teriakan mereka yang khas. Menjual ikan di bakul dengan berjalan kaki keliling membuat Sarino dan belasan penjual ikan di bakul lainnya punya akses langsung ke dapur-dapur banyak warga. Berjualan ikan soal lain, saling bakar lota atau bercerita menjadi kebiasaan yang melekat pada para penjual ikan. Tidak heran, mereka bisa lama di satu rumah yang membeli ikan mereka.

Itu dulu, sebelum konflik kekerasan di Poso menyebar.Tahun 2000, tidak ada yang berani keluar dari desa, apalagi berjualan. Semakin dilarang, Sarino semakin menguatkan tekad :

 “ini untuk bertahan hidup. Kalau begini terus kan kita tidak bisa hidup, sama saja mati. Kalau ada apa-apa, saya pasrah pada Allah SWT”

Desa Kasiguncu yang berjarak 25 km dari Desa Tokorondo, adalah tujuan awalnya. Jalanan sepi. Berjalan kaki sendirian, Sarino harus melewati hutan dan kebun-kebun yang punya sejarah kekerasan bahkan saat Sarino melewatinya. Desa Kasinguncu dipilih Ibu Sarino karena ada 4 keluarga dari pihak suaminya. Namun, kenyataan bahwa mayoritas warga Kasiguncu beragama Kristen, tetap membuat keluarga Sarino gugup.  Itu sebabnya, semalaman dia dinasehati agar tidak nekat berjualan.

Tapi Sarino berpikir lain. Hari ini harus ada ikan yang berhasil dijualnya.

Baru saja tiba di ujung Desa Kasiguncu,  Sarino sempat gugup. Seperti dikomando, tiba-tiba serombongan ibu-ibu yang melihatnya langsung keluar rumah. Bukan hanya ibu-ibu, juga  beberapa warga lainnya terlihat terkejut melihatnya. Semuanya hampir serempak bergegas menghampirinya. Orang-orang Kristen.

Baca Juga :  Tokoh Agama dan Kepolisian Poso Deklarasikan Anti Ujaran Kebencian dan Hoaks

Semenit kemudian, bergantian ibu Sarino dipeluk penuh rasa haru.

“Dorang somore dan ada sekitar  6 orang  yang ba polo ( memeluk )  sama saya . Dorang bilang kita kira kamu so tidak mo datang ba jual ikan lagi sama torang (kami )” – Mereka gemetar, sekitar 6 orang memeluk saya. Mereka bilang, kami pikir kalian tidak akan datang lagi berjualan ikan pada kami disini”

Hari itu, ikan di bakul Sarino cepat habis. Tapi Sarino terlambat pulang. Dia menghabiskan waktu saling bercerita dengan keluarga-keluarga Kristen yang menemuinya.

Sementara itu, sejak keberangkatan Ibu Sarino, suami dan semua anggota keluarganya  sangat gelisah. Mereka mengenal istilah yang berkembang di desa “diam-diam mencekam” yang mewakili situasi tanpa jaminan  keamanan. Semua saling mencari tahu kalau-kalau ada informasi terbunuhnya seseorang di wilayah Poso Pesisir.

Hari sudah sore, Sarino belum juga muncul.

Jam 5 sore, tiba-tiba terdengar teriakan “ ini dia, sudah pulang”

Sarino muncul di kamp pengungsian. Semua orang langsung berseru senang dan lega. Mereka berkumpul untuk melihat langsungSarino, penasaran mendengarkan apa yang terjadi. Dengan segera Sarino menceritakan penyambutan  masyarakat di desa yang dikunjunginya. Sarino menegaskan, tidak ada cerita  mengerikan seperti yang sempat dibayangkan semuanya. Sarino bahkan sudah merencanakan untuk berjualan ikan lagi keesokan harinya.

Sejak hari itu, informasi yang diceritakan Sarino menjadi informasi baru tentang perkembangan di Poso. Cerita Sarino membuat warga lebih berani beraktivitas.

Keesokan harinya, 4 perempuan penjual ikan keliling temanSarino bergabung dengannya.  Hari berikutnya 6 orang perempuan bergabung berjualan ikan ke lebih banyak desa. Perjalanan Sarino dan  ibu-ibu penjual ikan lainnya ke desa-desa di Poso Pesisir membuka komunikasi antar komunitas Islam dan Kristen. Rasa curiga yang selama ini dimiliki oleh masing-masing komunitas cair oleh kehadiran ibu-ibu penjual ikan.

Baca Juga :  Mosango, Bergembira Berbagi Rejeki dari Danau Poso

Sarino sekaligus memercayai,  semua orang siapa pun dan beragama apa pun membutuhkan makanan, juga ikan. Pernyataan “kita kira kamu so tidak mo datang ba jual ikan lagi sama torang” dipahami Sarino sebagai sebuah ekspresi warga Kristen untuk bisa bertemu lagi dengan Sarino dan banyak ibu lainnya yang nota bene beragama Islam. Pernyataan ini juga mewakili leburnya perasaan curiga yang sebelumnya dimiliki baik oleh Sarino maupun warga Kristen di desa-desa lainnya.

Para perempuan penjual ikan keliling ini kemudian menjadi pembawa pesan damai antar desa. Saat berjualan, mereka memberikan kabar bahwa desa-desa yang mereka lewati aman dan bahwa komunitas Kristen dan komunitas Islam tidak saling membenci. Para penjual ikan ini pula yang kemudian yang memengaruhi para pedagang lainnya  memulai beraktivitas. Cerita dari mulut ke mulut yang dibawa  para perempuan penjual ikan membuat warga masyarakat mulai saling mempercayai antar komunitas, mulai saling mengunjungi.

(Catatan redaksi : tulisan tentang lengkap tentang ibu Sarino dan banyak perempuan pejuang perdamaian di Poso yang tidak dibicarakan lainnya akan diterbitkan dalam buku bersama terbitan Jaringan Perempuan Indonesia Timur )

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda