Para Pejuang Sekolah PerempuanThe Fighter of Women School

0
1470

“Setiap minggunya kami harus ketemu ibu-ibu satu persatu, dari rumah ke rumah. Kadang-kadang harus bertemu suami juga. Ini supaya kami tetap bersatu dan membangun kebersamaan di sekolah perempuan” cerita ibu Rustomini dari Desa Trimulya. “ Kami ini dibilang sudah gila urusan dengan pemerintah. Karena sejak sekolah perempuan ada, kami banyak melakukan evaluasi atas kerja pemerintah juga layanan kesehatan dan pendidikan” sambung ibu Plistin dari Desa Didiri. Tantangan ibu Rustomini dan ibu Plistin adalah sebagian dari cerita-cerita yang bermunculan dalam pertemuan sore hari tanggal 8 Mei 2015 di Dodoha Mosintuwu, Tentena.

Pertemuan ini mengumpulkan 37 koordinator sekolah perempuan Mosintuwu dari 37 desa di Kabupaten Poso dan Morowali. Menjadi koordinator sekolah perempuan bukan hal yang mudah bagi ibu-ibu yang adalah ibu-ibu rumah tangga, para petani dan nelayan bahkan beberapa bekerja sebagai buruh. Berkorban waktu, pikiran bahkan sangat sering difitnah adalah sebagian dari resiko mereka. Padahal, ibu-ibu yang terdiri dari beragam agama dan suku ini belum pernah terlatih mengorganisiri. Mereka bahkan baru bergabung dan menjadi bagian dari anggota sekolah perempuan angkatan III yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu.

Baca Juga :  Temu Kenal Budaya Waropen Papua - Poso : Kuatkan Semangat Berdaulat atas Tanah dan Air

Kepercayaan bahwa pekerjaan untuk membangun desa harus dimulai dari perempuan menguatkan kemauan bersama untuk menjalaninya. Karena itu ketika ditanyakan tentang apa artinya menjadi koordinator, daftar panjang menjadi jawaban para ibu yang rata-rata lulusan sekolah menengah ini. Membangun kekuatan di dalam diri perempuan, mengorganisir agar kelompok perempuan bersatu membangun desa, menyakinkan pemerintah desa mendukung dan melibatkan perempuan adalah sebagian dari jawaban meyakinkan. Lian Gogali, pendiri sekolah perempuan Mosintuwu yang menfasilitasi pertemuan tersebut, menguatkan proses yang dialami oleh para koordinator sekolah perempuan dengan mendiskusikan bersama mimpi perempuan tentang desa, tentang Poso.

Tidak lagi sekedar pertemuan biasa, temu koordinator sekolah perempuan ini menjadi ruang belajar bersama, tempat melakukan refleksi atas visi dan misi perempuan tentang desanya. Diawali dengan merefleksikan pemaknaan apa artinya menjadi koordinator dilanjutkan dengan masing-masing koordinator menceritakan tantangan dalam keluarga, masyarakat termasuk dengan pemerintah saat mengorganisir sekolah perempuan. “Kami sudah berusaha jelaskan dengan baik, tapi kepala desa masih menganggap sekolah perempuan untuk melawan pemerintah” ujar ibu Fin dari Desa Peura. “Sekolah di desa tetangga kami hampir ditutup karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah desa” sambung ibu Helphin dari Desa Tiu. Sulitnya mendapat dukungan dari suami-suami anggota sekolah perempuan karena salah paham tentang sekolah perempuan, jadwal kegiatan pribadi di sekolah perempuan termasuk masih kurangnya kesadaran dari beberapa perempuan tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembangunan menjadi bagian dari hal yang dihadapi oleh koordinator sekolah perempuan.

Baca Juga :  Perempuan dalam Sejarah Poso : Tabib, Hakim dan Pemimpin Spiritual

Hasil manis dari usaha terus menerus mengalirkan cerita perkembangan menakjubkan hasil pengorganisiran yang dilakukan. Ibu Frida dari Desa Bakekau, Lore Selatan menceritakan bagaimana dirinya meyakinkan pemerintah desa, bahkan camat untuk bukan hanya mendukung sekolah perempuan tetapi juga menjadi panduan kelompok perempuan untuk bicara tentang desa. “ini karena di sekolah perempuan, kami sudah berhasil membuktikan kalau kami memiliki pengetahuan yang tidak kalah dengan sarjana apalagi tentang desa”.  Ibu Marce dari Desa Bance, Pamona Selatan mengungkapkan kebahagiaannya ketika meyakinkan agar teman-teman di sekolah perempuan dapat mendorong pemerintah desa memperjuangkan isu perempuan di dalam desa melalui RPJMDes.

Sekolah perempuan Mosintuwu masih setengah jalan dari serangkaian transformasi pengetahuan dan ketrampilan kelompok perempuan. Karena itu, pada bagian akhir pertemuan, koordinator sekolah perempuan diajak untuk membangun komitment bersama untuk tidak patah menggandengan tangan semua pihak di dalam desa agar bisa memastikan sekolah perempuan menjadi ruang belajar bersama bagi semua orang di dalam desa.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda