Lulus di Sekolah Perempuan: Jembatan Damai untuk Keadilan itu Sudah Dibangun

0
1841

Setahun yang lalu, rombongan ibu-ibu yang berasal dari berbagai desa, terdiri dari berbagai agama dan suku ini duduk diam, jarang berbicara bahkan cenderung takut untuk melihat yang lain apalagi menyapa. Bersikap sangat serius dan tertawa jarang diperdengarkan, senyumpun terbatas. Keadaan kaku ini berubah total saat dipertemukan kembali setahun berikutnya, yakni pada bulan Januari 2012. Bukan hanya gelak tawa berderai sepanjang hari, senyum menebar ke semua serta percakapan tidak henti. Hal ini terlihat jelas dalam pertemuan dua hari para ibu anggota Sekolah Perempuan di tepi Danau Poso, yang dirangkaikan dengan acara kelulusan Sekolah Perempuan, angkatan pertama.

Puluhan ibu-ibu muslim dari Poso Kota dan Poso Pesisir untuk pertama kali mengunjungi Danau Poso, sekaligus pertama kali sejak Konflik Poso terjadi melintasi batas desa-desa yang diidentifikasi sebagai pusat Kekristenan. Sementara ibu-ibu yang beragama Kristen sangat antusias untuk menyambut kedatangan teman-teman dari berbagai wilayah. Tidak ada keraguan untuk saling berpelukan menanyakan kabar, menggandeng tangan bercerita tentang perkembangan. Semuanya membaur dalam suasana semangat untuk merayakan kelulusan proses belajar bersama selama satu tahun di Sekolah Perempuan Mosintuwu. Kurang lebih 70-an ibu-ibu yang sudah melalui proses belajar bersama di Sekolah Perempuan berkumpul bersama.

Ya, acara yang mempertemukan kembali seluruh anggota Sekolah Perempuan Mosintuwu ini merupakan acara Kelulusan Sekolah Perempuan Mosintuwu, angkatan pertama. “Kelulusan” ini terutama karena  telah menyelesaikan delapan kurikulum , yaitu: Toleransi dan Perdamaian; Gender ;Perempuan dan Budaya; Ketrampilan Berbicara dan Bernalar; Perempuan dan Politik; Hak Layanan Masyarakat ; Hak ekonomi, sosial, budaya dan Hak sipil politik; Manajemen Ekonomi Komunitas. Dimana dalam tahapan kurikulum  semua anggota Sekolah melalui tiga tahapan penting dalam proses pemberdayaan perempuan di Sekolah Perempuan, yaitu: Membongkar prasangka, kecurigaan; mengurai trauma dan dendam antar komunitas agama,suku,identitas yang berbeda; Membangun kepercayaan dalam diri perempuan, sekaligus membangun rasa saling percaya antar perempuan lintas identitas agama, suku; Membangun kerjasama untuk isu Perdamaian dan Perjuangan untuk Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Hak Sipil Politik di wilayah pasca konflik Poso. Hal ini dimungkinkan karena setiap modul yang disusun memiliki tiga tahapan penting, yaitu: Mengubah cara berpikir  dalam bentuk teori-teori kritis; Membiasakan cara berpikir; Mempraktekkan.

Tidaklah heran pertemuan setahun kemudian pada tanggal 14 – 15 Januari 2012 ini para anggota Sekolah Perempuan telah melalui proses bersama yang bukan hanya memberdayakan tetapi juga dengan sendirinya memberikan ruang  bagi mereka untuk membangun jembatan perdamaian dan berjuang bersama untuk keadilan.

Acara kelulusan berlangsung seru sekaligus penuh khidmat. Mengenakan pakaian adat, dengan wajah berseri semua anggota Sekolah Perempuan mengikuti acara kelulusan. Hadir pula dr. Asnah Awad, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana dan Perlindungan bersama dengan sekretaris dan seluruh kepala bidang di departemennya, juga perwakilan Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Olahraga dan kepala-kepala desa asal anggota Sekolah Perempuan. Dalam sambutannya, dr. Asnah Awad menyampaikan apresiasi dan penghargaan terhadap usaha Mosintuwu dalam membangun dan memberdayakan perempuan serta mendorong perlunya kerjasama dengan pemerintah daerah sehingga dampak positif Sekolah Perempuan dapat dirasakan oleh semakin banyak perempuan. Sementara itu Kepala Desa Betalemba, mewakili pemerintah desa yang hadir, menyampaikan pentingnya perempuan berperan aktif dalam desa untuk memajukan pembangunan sekaligus menjembatani proses perdamaian sehingga hal seperti Sekolah Perempuan penting untuk dilanjutkan. Lian Gogali, Ketua Mosintuwu dalam sambutannya menyampaikan kebanggaan atas hasil yang sudah dicapai oleh semua ibu Sekolah Perempuan, membangun jembatan perdamaian melintasi identitas. Lian juga mengingatkan bahwa  Sekolah Perempuan adalah langkah awal bagi sebuah gerakan interfaith masyarakat akar rumput. Sebuah kelulusan berarti sebuah langkah baru untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajari bersama di dalam komunitas masing-masing.

Baca Juga :  Rekomendasi Kongres Perempuan : Perempuan dalam Adat dan Budaya

Tanda kelulusan diberikan kepada ibu-ibu dalam bentuk sertifikat dan pengalungan tanda kelulusan. Setelah prosesi kelulusan, ibu Ni Made Sukerni dari Sekolah Perempuan Poso Pesisir dan Ibu  Martince dari Sekolah Perempuan Poso Kota Utara mewakili peserta yang lainnya menyampaikan kesan selama mengikuti belajar bersama di Sekolah Perempuan. Keduanya mengatakan bahwa Sekolah Perempuan telah menjembatani hubungan antara para ibu-ibu dari berbagai agama dan suku untuk saling mengerti, memahami dan bertoleransi, juga telah memberikan peluang untuk mendapatkan pengetahuan dan akses serta keberanian untuk maju. Saat memberikan contoh-contoh capaian yang didapatkan, keduanya juga menyampaikan harapan agar Sekolah Perempuan bukanlah akhir tetapi dapat diteruskan.

Harapan yang sama juga disampaikan oleh ibu-ibu. Melalui gurauan, ibu Bolagi menyampaikan “kalau sudah lulus berarti kita sudah sarjana, gelarnya Sarjana Perempuan, tetapi setelah dapat sarjana jangan menganggur harus bekerja supaya tidak turun derajat dari pelajar jadi pengangguran”

Harapan untuk menindaklanjuti  semua materi di Sekolah Perempuan ini dalam komunitas kemudian dibicarakan bersama-sama pada hari berikutnya hingga disepakati membangun Organisasi Perempuan Interfaith yang akan bekerja bersama sebagai center of Emergency Respond, dan focus pada isu Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak; Ekonomi Komunitas dan Perempuan dalam aktivitas politik. Sebelumnya, pada malam hari para ibu berkumpul melakukan atraksi budaya, ramah tamah yang semakin mengikat persaudaraan diantara mereka.

Rangkaian acara kelulusan Sekolah Perempuan, dan proses belajar bersama di Sekolah Perempuan memang telah berakhir, tapi ini semua langkah awal dari mimpi yang besar; mewujudkan perdamaian dan keadilan di wilayah pasca konflik Poso, di Indonesia, bahkan bukan tidak mungkin di dunia.

__________________________
A year ago, a school of women from villages, coming from a variety of religions and ethnics, sat in silence, dared not to speak up, were reluctant to greet or even to look at others. They looked dead serious, withholding their laughter and smiles. The year has passed. How they changed a lot! They came together once again, on June 14-15, 2012. They laughed out loud all day, smiled ear to ear, talked and talked incessantly. They gathered for this two-day meeting on Poso lake shore and ended the occasion with graduation ceremony for the Women School first batch.

Baca Juga :  Perempuan Desa: Melawan Isu, Mencegah Kepanikan di Gempa Poso

It was their first visit to Poso Lake for Moslem women from Poso Kota and Poso Pesisir since the occurrence of armed conflict; their first time to travel across borders of the so-called Christian villages, some of them the center of Christian community. Christian women welcomed them in enthusiasm. Their hugs were spontaneous, they greeted each other, threw questions of how-are-you, sharing stories of their journey. All celebrated the graduation day for their one-year learning in Mosintuwu Women School with elevated spirit. There were around seventy women filled the day.

These women had undergone a set of curriculum that contains of eight units. They are: 1) religion,  tolerance and peace, 2) gender, 3) women and culture, 4) verbal and logical thinking skills, 5) women and politic, 6) public service rights, 7) economic-social-cultural rights and civil-politic rights, 8) community economy management. There are three important stages in the curriculum deliberately designed to empower Women School members: deconstructing prejudice and biases; analyzing meaning to traumatic experience and vengeance among different religions, ethnic and other identified identities; building self-esteem and trust among members of different identities; establishing cooperation for peace and the struggle for economy-social-cultural rights and civil-politic rights in Poso post conflict context. In order to enable these three phases to take place, each module is set to go through three specific phases; those are critical awareness building, forming the habit of logical thinking, and practice.

Having experienced these stages and phases, the members of Women School attending the gathering ceremony showed accentuated changes in those targeted aspects within the curriculum. They looked empowered, united and ready to make change for peace and justice.

The atmosphere was energetic, radiant, yet solemn. They wore their traditional clothes for the graduation ceremony. Dr. Asnah Awad, head of Women Empowerment, Family Planning and Protection Government Body, together with her secretary and heads of units in her department, and representative of Education, Culture and Sport, also heads of villages where members of Women School come from, attended the ceremony. In her inaugural speech, Dr. Asnah Awad conveyed her appreciation for Mosintuwu’s effort in building and empowering women. She expressed the importance of establishing collaborative work with the local government so that the positive impacts produced by Women School can also be benefited by more and more women.

Baca Juga :  Pendidikan Agama yang Pluralis di Sekolah Poso

The head of Betalemba village, speaking on behalf of the other attending heads of villages, uttered the significance of women’s active participation in villages to support nation development as well as to bridge the peace process. This is, to his knowledge, is the ground for Women School to continue its work ahead

Lian Gogali, chairperson of Mosintuwu, in her speech showed her credit for the results achieved by all members of Women School, which they managed to build the peace bridge across identities. She also reminded that such achievement is still the beginning phase yet called for further interfaith movement on grassroots level. A graduation is a new step to act on what we have learnt in our community.

A token of graduation was symbolized by handing over certificates and draping graduation token around their necks. Afterwards, Ni Made Sukerni from Poso Pesisir Women School and Martince from North Poso Kota represented the rest of Women School members delivered their impression on their participation as members in Women School sessions. They stated that Women School had connected women from different religions and ethnics to share understanding, to express tolerance and further it had provided the opportunity to access, to gain knowledge, to courage to move forward. In giving example, they both showed their hope that Women School continue its process onward. Other members affirmed that hope as well. One woman called Bolagi said jokingly, “We graduate, we become bachelor. We bear the degree of the bachelor in women. But no, let’s not be unemployed. It only means one thing: we are descending from student to be the unemployed. We got to work!”

In the evening session, all of us all once again gathered for the agenda of culture attraction. It was an informal session, where we got together and conversed in familiar ambience, deepening our connection towards each other.

In the hope of following up all the subjects in Women School into community practice, in the following day we held a discussion and agreed on the establishing an interfaith women organization as a center of Emergency Response, held focus in the issues on Safe House for women and children, community economy work, and women in politics.

The graduation ceremony is over. The whole sessions of first batch Women School were accomplished. Yet, we are still in the early steps heading toward a long journey to our big dream. We want peace. We want justice. Here, in our beloved Poso. Let it then flesh out much wider, to the whole world.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda