Sekolah Perempuan Bikin Film Perempuan

0
1515

Hari itu adalah hari lain yang luar biasa dari kelas Sekolah Perempuan MOSINTUWU di Pamona.Hampir semua warga Sekolah Perempuan berdandan tidak biasa dengan pakaian adat Poso. ”Kelompok akan membuat film pendek tentang bagaimana perempuan bisa berpartipasi menjaga kearifan lokal,budaya Poso” Selama hampir tiga jam,di tepi Danau Poso, di lokasi yang biasanya digunakan untuk pagelaran Festival Danau Poso, ibu-ibu Sekolah Perempuan memulai aksinya dengan mempraktekkan beberapa tarian tradisional Poso, mendiskusikan metode yang tepat agar Budaya Poso tidak tergusur oleh modernisasi yang sangat cepat masuk di kota kecil mereka.

”Harus diakui, kesadaran masyarakat sangat kurang untuk mempertahankan apalagi berbangga dengan kebudayaan kita. Di kelas Sekolah Perempuan kami diajarkan bahwa perempuan Poso punya sejarah yang sangat kuat dalam membentuk kearifan lokal,sangat kuat dalam mempengaruhi kebijakan masyarakat. Jadi, kalau dulu perempuan punya peranan penting, sekarang kenapa tidak?setidaknya kita bisa mulai kampanye lagi kan?”

Secara bergantian dan penuh semangat, tiga orang ibu yang ikut dalam pembuatan film pendek itu menyampaikan pendapatnya. Mereka tampak tekun mendiskusikan ulang sejarah budaya Poso dan peran perempuan yang hilang saat ini.

Lain lagi di kelas Sekolah Perempuan Poso Pesisir yang diadakan di Desa Betalemba. Ibu-ibu bergantian saling mewawancarai berdasarkan kelompok suku Pamona,Bugis,Jawa,Bali,Tionghoa.”Kita mau bikin film pendek yang bisa jelaskan bahwa meskipun suku dan agama kita berbeda, tetapi kita bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan. Dulu, sebelum masuk Sekolah Perempuan kita penuh dengan prasangka tentang perbedaan agama dan suku yang lain. Setelah dengar dan diskusi di kelas Sekolah Perempuan, kita tahu bahwa sejarah pertemuan budaya yang berbeda dan agama yang berbeda di Poso sangat saling menghargai” Cerita ibu Rina.

Baca Juga :  Alkhairat - Institut Mosintuwu Bersama Membangun Damai di Poso

”Waktu misionaris Kristen, Ac Kruyt pertama kali datang ke Poso,menginap di rumah Baso Ali,penyiar agama Islam. Mereka berbincang sangat akrab,menurut sejarah,lalu sepakat bahwa penyiaran agama Kristen akan berbagi wilayah penyiaran agama. Mereka sudah saling mengerti dan menghargai waktu itu, jadi kenapa kita tidak?” sambung salah seorang ibu. Lalu kenapa menyoroti suku juga ” Iya, karena suku Pamona yang dianggap suku asli disini punya sejarah keterkaitan dengan suku dari luar,baik dari Luwu, Bugis,lalu dari Bali. Semua datang dan berkembang juga mengembangkan Poso dengan keahliannya. Kita punya sejarah itu. Jadi bagaimana kita yang sekarang tidak mau melihat dan menghargai sejarah itu?” Jelasnya.

Masna, fasilitator lokal SP Poso Pesisir menambahkan  ”Sejak awal, Sekolah Perempuan mau membekali perempuan untuk menjadi agen perdamaian. Jadi, perempuan yang akan aktif kampanye sejarah perdamaian di Poso termasuk bagaimana membangun ulang perdamaian pasca konflik berdarah kemarin. Tema ini dipilih sendiri oleh ibu-ibu” Ibu Teti, menyambung “kita dulu punya sejarah dimana perempuan berperan dalam komunitas,jadi kenapa sekarang tidak?”

Proses belajar mengenal budaya Poso dalam kurikulum Perempuan dan Budaya memang menggunakan dua metode berbeda. Pada dua pertemuan pertama, warga SP serius mengikuti penjelasan dari budayawan Poso, Ngkai Yustinus Hokey mengenai sejarah Poso, termasuk jejak sejarah perempuan dalam sejarah Poso. Kelas juga secara antusias mengikuti diskusi bahkan terlibat perbincangan yang alot mengenai perkembangan budaya Poso sebelum agama-agama masuk dan sejarah sebelum dan pasca konflik Poso. Pada pertemuan ketigadan keempat, menggunakan media film, warga Sekolah Perempuan diminta memaknai kurikulum Perempuan dan Budaya dengan membuat komitmen bersama tentang bagaimana Perempuan MOSINTUWU seharusnya dalam budaya Poso. Pemaknaan ini mereka sampaikan melalui skenario film pendek.Untuk membuat film pendek ini, warga Sekolah Perempuan bersemangat meluangkan waktu mereka di luar jam/kelas Sekolah Perempuan untuk melakukan pengambilan gambar, wawancara, termasuk belajar kilat bagaimana cara mengambil gambar, menentukan tema, dan bekerjasama membuat skenari. Masing-masing warga Sekolah Perempuan ingin menampilkan yang terbaik.

Baca Juga :  Lian Gogali : Mendaulatkan Gerakan Kolektif Perempuan

“Kami bersenang-senang saat membuat film, semua mau melakukannya bersama-sama, rasanya kami sudah jadi pemain film” ujar ibu Dina sambil tertawa. “Tidak ada lagi rasa canggung antara kami untuk saling bekerjasama supaya hasilnya bagus. Padahal dulu sebelum masuk sekolah perempuan, kami rasa aneh satu sama lain, sekarang sudah jadi keluarga besar” sambung Mama Zainab dari Sekolah Perempuan Poso Kota asal Desa Tegalrejo. Senada dengan itu Ibu Fatimah dari Desa Tangkura, Sekolah Perempuan Poso Pesisir mengatakan “setiap metode di Sekolah Perempuan bikin kami selalu bersemangat mengikut kelas, karena selalu baru dan membuat kami secara otomatis terlibat dan merasa satu keluarga besar. Tidak terasa lagi dia dari desa mana,agama apa,suku apa. Apalagi setelah dengar banyak informasi dan pengetahuan yang tidak mungkin kami dapat di luar sana”

Belajar bagaimana membuat film, bukan hanya hal baru bagi warga SP tetapi juga hal yang menantang. Mampu bekerjasama teknis sebagai tim dan mengeksplorasi makna sebagai Perempuan merupakan pengalaman menarik yang bagi semua warga SP sangat mencerahkan mereka, menjembatani hubungan antar mereka lebih dalam lagi.

Baca Juga :  Rekomendasi Kongres Perempuan : Perempuan dalam Adat dan Budaya

Hal ini tergambar Di Sekolah Perempuan MOSINTUWU di Lage dan Bukit Bambu. Sejak seminggu sebelum pembuatan film pendek, ibu-ibu warga SP sudah saling mengingatkan tugas masing-masing, secara aktif melakukan diskusi kelompok.

Sekolah Perempuan Poso Kota yang terdiri dari tiga desa utama, Bukit Bambu, Sayo dan Tegal Rejo sengaja memilih dekonstruksi ingatan warga Sekolah Perempuan, sebelum dan pasca konflik Poso. Sekolah Perempuan menjadi isu utama yang diangkat oleh warga SP karena dianggap menjadi ruang penting yang menjembatani hubungan antara komunitas muslim dan kristen yang sebelumnya retak. Sekolah Perempuan dalam pernyataan wawancara ibu-ibu (yang tidak diarahkan oleh fasilitator ini) menjembatani ketakutan untuk membangun perdamaian di Poso.

SP MOSINTUWU di Lage memutuskan memberikan tema besar ” Menembus Batas”. Ketua kelas, ibu Leni, dengan mantap mengatakan ”Menjadi anggota Sekolah Perempuan bagi kami adalah seperti menembus batas identitas suku dan agama untuk membangun perdamaian dan meraih hak-hak sebagai masyarakat. Begitulah menjadi Perempuan MOSINTUWU”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda