Mengenang Lagi Republik Bersama Tan Malaka

0
1215

Naskah itu dicetak pertama kali tahun 1924 dalam kesulitan dan penderitaan mengelola pergerakan nasional. Saat itu, mengimajinasikan republik bernama Indonesia belum banyak mengendap dalam kepala manusia dikoloni bernama Hindia Belanda. Naskah inilah yang hadir sebagai ‘jembatan imajinasi’, merangsang, memadatkan dan menghantar pikiran-pikiran ‘menuju Republik’ menjadi lebih terfokus.

Naskah itu diberi judul ‘Naar de ‘Republiek Indonesia’. Dizamannya, buku ini menjadi bacaan Sukarno, juga didalami Muhammad Hatta; Dwi Tunggal Proklamasi. Buku yang juga harus ‘diselundupkan’ dari sensor represif pemerintah kolonial untuk sampai dibumi pergerakan nasional. Dari buku ini pula, lirik lagu Indonesia Raya, disusun oleh W.R Supratman, dan didendangkan di Kongres Pemuda Indonesia II, 1928.

Sejak naskah itu dikeluarkan, menjadi buku bacaan bawah tanah kaum pergerakan, ada jarak ruang dan waktu sekitar dua dasawarsa, barulah deklarasi merdeka itu membuncah ke udara, kelangit internasional. Kehebatan buku itu, tak lahir dari keberlimpahan fasilitas, kenyamanan ruang kerja berpendingin, kesunyian laboratorium, atau, kemewahan status akademik dan politik.

Buku itu mewakili kelahiran pikiran. Bagi dia : ‘Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawa kelahirannya’ . Dalam pesan yang demikian, ada sebuah penegasan, bahwa pikiran tak boleh lepas dari situasi manusia yang kongkrit, bahkan, pikiran seharusnya dikhidmatkan sebagai pembelaan dan perjuangan melawan penderitaan manusia banyak. Yaitu, pembelaan dan perjuangan bagi manusia banyak yang menjadi obyek nista dibawah bedil dan menara pengawas kolonial.

Dia, menyusun buku itu, dengan menjelaskan tentang situasi dunia dizamannya. Dunia paska perang dunia 1914-1918. dunia paska perang yang lahir dari pertentangan negara imperialis, negara kapitalisme. Dia, juga telah mengingatkan, jika pertentangan para imperialis itu akan melahirkan perang baru. Dan, diwilayah Timur Jauh, dimana Nusantara berdiam didalamnya, pertentangan itu akan makin tajam. Kenapa perlu ada peringatan seperti itu ?.Sebab, baginya, kita tak boleh berharap akan ada masa damai (Pasifistische periode) diantara para negara imperialis itu.

Baca Juga :  Pemetaan Geo Sosial Spasial : Mengenal Desa, Merencanakan Pembaharuan

Sesudah mengingatkan tentang situasi internasional, dia membahas situasi Indonesia. Paragraf pembuka dibagian kedua ini, dimulainya dengan kalimat : ‘jika kita bayangkan kapitalisme sebagai suatu gedung dan negeri-negeri di dunia adalah tiap-tiap yang mendukung gedung itu, maka Indonesia merupakan salah satu dari tiang-tiang itu’. Indonesia tak pernah hadir dari ruang tanpa tarik menarik kepentingan, bukan tumbuh dari situasi hampa pertentangan imperialis.

Bukankah, seperti inilah warisan sejarah yang terus menjadi rantai belenggu Indonesia hingga detik ini ?.
Dia juga berpesan, bahwa sekalipun kita sudah tahu bangunan bernama kapitalisme itu akan runtuh, tetapi ‘wujud dan luas runtuhnya serta cara bagaimana runtuhnya, hanya praktek yang menentukan’. Begitu juga didalam negeri, baginya, pertentangan antara rakyat Indonesia dan imperialisme Belanda makin lama makin tajam. Justru karena begitu, maka, ‘harapan dan kemauannya untuk merdeka berlangsung bersama-sama dengan penderitaannya’.

Satu hal yang juga penting dari peringatan dia adalah bahwa orang-orang yang memegang kekuasan akan menyusun rencana untuk menghapus pertentangan yang tajam itu. Diantaranya, bagaimana merumuskan cara memperbaiki kehidupan ekonomi dan memberi hak-hak politik pada golongan Indonesia. Kita jadi membayangkan, pertentangan tajam yang meruntuhkan negara orde baru ditahun terakhir 1990-an, seperti menegaskan kebenaran pesannya hampir seabad yang lalu. Paska orde baru, kita menyembah IMF dan memuja demokrasi liberal.
Ia juga mengingatkan kalau menjadi bangsa merdeka tak bisa dengan meminta, sama juga, tak bisa diharapkan datang dari pertolongan orang asing, dari bangsa lain. Kekayaan ekonomi nasional, yang dihisap habis oleh negara-negara imperialis itu, tak tepatlah diharapkan melahirkan politik balas budi ekonomi. Balas budi ekonomi yang memungkinkan tumbuhnya industri nasional handal dan kompetitif. Tidak akan pernah itu terjadi, jadi, tak perlu berterima kasih, apalagi membungkuk, pada program-progam sosial seperi Corporate Social Responsibility (CSR) yang kini ramai.

Baca Juga :  Lingkaran Perempuan untuk Masa Depan Damai dan Adil

Tak lupa, ia membicarakan tentang strategi perjuangan. Tibalah pembicaraan soal partai sebagai sarana mewujudkan merdeka 100%. Refleksinya tentang kehidupan kepartaian kala itu, dipadatkan dalam kalimat demikian : ‘belum ada satu partai politik di Indonesia yang begitu jauh telah mengumumkan programnya. Baik partai dari intelektuil-intelektuil seperti Budi Utomo dan Nasional Indische Partij maupun massa partai Sarekat Islam dapat menyusun dengan pendek tuntutan-tuntutan ekonomi dan politiknya. Mereka berpegang teguh pada perkataan merdeka yang sama. Mereka tak pernah mengupas keadaan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. Karenanya mereka juga tak pernah sampai pada programnya, sebab, suatu program bukannya hanya satu daftar keinginan, akan tetapi harus didasarkan atas susunan sosial ekonomi suatu negeri’.

Kita semua juga tahu, partai-partai politik hari ini masihlah tumbuh dari jenisnya yang lama : yang jangankan mampu menyusun program dari susunan sosial ekonomi masyarakatnya. Merasa empati pun sudah tidak lagi apalagi memasukkan diri sebagai bagian dari yang menderita, bagian dari the underdog’s. Mereka mungkin punya ‘daftar keinginan’, tapi, seperangkat keinginan yang sejujurnya merupakan produksi maksud-maksud perseorangan dan kelompok kecil, lalu diusahakan menjadi maksud-maksud bersama, maksud-maksud bangsanya.

Baca Juga :  Merekam Totalitas Relawan di Festival Mosintuwu

Partai-partai yang dimaksudnya dalam naskah yang kini sudah berusia 86 tahun, haruslah mengusahakan kemerdekaan 100%. Untuk itu, jalan mula-mula yang harus ditempuh adalah dengan pertarungan politik dan militer. Ketika kemenangan menjadi milik, kemerdekaan tercapai, maka untuk mempertahankan kemenangan politik dan militer itu, hanya jika kita memiliki syarat-syarat kekuasaan ekonomi.

***

Begitu banyak hal yang termuat dalam naskah itu. Tetapi saya hanya memilih menceritakan kembali beberapa bagian saja. Sebagai bahan untuk mengenangkan kembali pikiran-pikiran besar, yang menghantar sekaligus melampaui kenyataan yang berjalan.

Kekayaan naskah itu, diantaranya, termasuk membahas lokasi pertempuran militer yang akan ditempati oleh pasukan induk. Juga tentang nilai kesetiakawanan dan disiplin baja dalam mengelola perjuangan mencapai merdeka 100% lewat instrumen partai politik. Sebuah naskah pendek yang visioner, ringkas dan konsisten pada perencanaan-perencanaan strategis, serta tuntunan metode untuk menggapainya.
Catatan ini hanya ingin mengulang kembali kelahiran pikiran tentang bagaimana menjadi Merdeka dari alam intelektual-pergerakan bumi sendiri. Anda sekalian yang membaca ini, mungkin sudah khattam, sudah hafal seluruh isinya, hingga berkesimpulan naskah itu tidak lagi relevan. Tapi, tak ada salahnya, jika kita mengenangnya kembali. Menemukan sari-sari yang bisa diteruskan bagi hari ini dan nanti.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda