Mereka (Kristen) memberi kami makan, karena itu kami masih hidup

0
1284

Ini kisah keluarga kami di pengungsian,

“ …sudah tiga hari kami di hutan, sudah habis makanan dan minuman karena kami semua mengungsi buru-buru tidak ada yang dibawa selain pakaian yang melekat di badan. Kasihan anak-anak, semua tidak makan nasi cuma makan buah-buahan yang ditemukan di hutan, susahnya sedang tidak musim buah jadi tidak banyak buah yang ditemukan padahal orang dalam rombongan kami banyak. Semua sedang kelaparan dan beberapa anak sudah mulai sakit demam dan diare. Tidak mungkin balik lagi ke kampung, itu namanya cari mati. Sudah banyak keluargaku yang dibunuh…

Kami terpaksa minum dari genangan air yang berulat, kotor, sudah berwarna coklat hitam. Ulat-ulatnya kami buang dan kira-kira sudah bersih kami berikan terutama pada anak-anak.

Alhamdulilah, Allah Maha Besar, hari ke empat di hutan, tidak disangka kami ketemu dengan rombongan pengungsi lain. Waktu itu sempat takut semua anggota rombongan pengungsian, karena rombongan pengungsi muslim yang dikejar-kejar sampai dihutan. Tapi saya nekad, saya pikir ini masih manusia semuanya, apalagi ternyata ada yang saya kenal di rombongan itu. Ada teman lama saya  yang sama-sama jualan di pasar. Namanya ibu Sri. Dia Kristen dan bersama-sama rombongan desanya yang semuanya juga Kristen. Kami saling teriak dan bertanya bagaimana keadaan, pelukan, saling prihatin. Rupanya mereka juga mengungsi karena desa mereka juga sudah dibakar, anak ibu Sri juga sudah dibunuh. Ibu Sri bicara dengan kepala rombongan mereka dan kepala rombongan itu yang membuat peta tempat dimana mereka menyembunyikan beras.

Baca Juga :  Saya Dilarang Sekolah, Digugat Cerai Karena SekolahHusband threatened to divorce because i join Women School

Setelah kami berpisah, mereka ke arah selatan ke daerah Tentena dan kami ke arah barat ke Palu. Dorang Kristen. Kami ikut peta itu, kami percaya saja karena saya pikir kami sama-sama pengungsi, dorang masih manusia yang tahu dan merasakan bagaimana ini mengungsi . Ternyata benar. Di tempat yang ditunjuk itu ada beras, bahkan ada juga sisa garam dan alat-alat masak. Kami langsung memasak.

Alhamdulillah, Allah Maha Besar, sampai saat ini  kami bisa bertahan, kalau tidak, mungkin banyak anak kami yang meninggal…karena itu saya bilang tidak ada itu konflik agama,ini konflik elit-elit, kitorang yang muslim Kristen yang jadi korban disuruh bakalae (berkelahi)”

* (Kisah ini didapat dari wawancara Perempuan Poso dengan ibu M di Sintuwulembah), selengkapnya dapat dibaca di buku Lian Gogali, Suara Perempuan dan Anak menuju Rekonsiliasi Ingatan, Galang Press, 2008)

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda